Belum lama ini, saya berkesempatan untuk melakukan
benchmarking dari kantor ke PT Telkom. Awalnya, saya pikir hanya di Bandung,
mengingat KAI dan Telkom sama-sama punya kantor pusat di Bandung. Tapi,
ternyata yang akan menjadi tujuan utama kami adalah Telkom Landmark Tower, di
Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Saya pertama dan terakhir kali masuk ke kantor
pusat Telkom di Bandung saat ada tugas kuliah tahun 2008 silam (Oh My God, udah
11 tahun lalu saja, hahaha). Setelah itu, saya belum pernah ke Telkom lagi, baik
di Bandung ataupun di Jakarta.
Employee Corner di Telkom Landmark Tower.
Seperti biasa, acara benchmarking berisi presentasi dan
diskusi. Tapi asyiknya, Telkom sendiri sudha mengusung Smart Office. Ruang untuk rapat dan pertemuan seperti
benchmarkingg pun dilakukan di Employee Corner, yakni space yang luas dan
terbuka alias tanpa sekat-sekat ruang. Ini membuat suasana menjadi lebih
flexibel dan tidak suntuk.
Hampir dua jam presentasi dan diskusi, selanjutnya kami diajak berkeliling beberapa spot di Telkom Landmark Tower. Gedung ini terdiri atas 52 lantai dan spot paling menyenangkan buat saya adalah Telkom Digital Experience atau disebut juga TDX. Sejujurnya, ini adalah pengalaman pertama saya berada di wahana interaktif berbasis virtual technology begini. TDX mengusung tagline Feel The Future, untuk mewakili bahwa masa depan yang canggih itu sudah bisa kita rasakan permulaannya sejak saat ini.
Menuju TDX.
TDX ini terdiri dari smart teather yang berbentuk seperti
bioskop pada umumnya untuk melihat paparan lengkap tentang Digital Future yang
sedang dikembangkan. Selanjutnya ada smart Edutainment yang berisikan berbagai
game-game berbasis pengetahuan dan mengasah otak dengan tampilan serba virtual.
Smart Sport yakni
olahraga permainan dengan beberapa perlengkapan virtual juga. Ada Smart Living
yakni rumah masa depan dimana semuanya sudah bisa diatur hanya dengan suara. Seperti
menghidupkan lampu, menyalakan televisi, dan lain-lain.
Salah satu spot seru yang harus dicoba.
Salah satu yang paling berkesan, saya sempat bermain dengan
dua robot lucu, yakni Alexa dan Lynx. Alexa dan Lynx dapat melakukan aktivitas
berdasarkan perintah suara.
Perkenalkan Alexa dan Lynx.
Ada juga Smart Farm yang menggunakan teknologi untuk
mempermudah dalam bercocok tanam seperti mengairi tanaman dan pencahayaan
tanaman untuk proses pertumbuhan.
Kalau bercocok tanamnya smart begini, saya juga mau.
Tentunya, ada Smart City yakni gambaran kota masa depan yang
dikembangkan berbasis teknologi sehingga lebih ramah lingkungan dan hemat
energi namun sangat canggih.
Gambaran kota masa depan.
Di ujung sebelum exit
way TDX, ada gerai merchandise bila pengunjung ingin mengoleksi atau
tertarik memiliki barang-barang berbau TDX. Semua aktivitas berbelanja di sini
menggunakan aplikasi Link Aja sehingga praktis.
Oh ya, TDX terbuka untuk umum dengan sebelumnya harus
mendaftar dulu di website TDX. TDX dibuka mulai pukul 10.00 WIB s.d. 17.00 WIB
tapi untuk info lengkap dan ketentuan kunjungannya, kalian bisa buka website
resminya yakni tdx.co.id atau melalui aplikasinya yakni TDX.
Melihat robot-robot ini jadi ingat film Star Wars. Amerika
Serikat, Jepang, dan Tiongkok bahkan sudah banyak mengembangkan berbagai jenis
robot bahkan yang humanoid. Jadi teringat film Aelita yang rilis awal tahun,
sebuah robot alien dari Mars yang canggih dan mematikan.
Alexa yang lincah.
Di masa depan, banyak pekerjaan yang akan digantikan dengan
robot. Sehari-hari, kita mungkin saja akan selalu berinteraksi dengan robot.
Intinya, kita harus siap dengan masa depan yang mungkin benar adanya seperti di
film-film yang kerap kita tonton. Siapkah kita?
Sebelum hilang ingatan tentang salah satu event yang paling berkesan yang telah didatangi tahun ini, saya akan menceritakannya sedetail mungkin. Pernah baca kan sebelumnya kalau menghadiri festival ataupun workshop adalah hal yang cukup saya senangi? Awal bulan September ini, untuk pertama kalinya saya menghadiri festival literasi. Saya sudah tahu tentang Ubud Writers Festival, yakni event yang mempertemukan para penulis baik yang muda maupun senior, baik yang sudah profesional maupun sedang awal merintis untuk membicarakan berbagai hal baik tentang perkembangan maupun karya-karya dalam bidang penulisan sastra.
Bandung Readers Festival 2019 berlatar Gedung Sate.
Saya, seperti biasanya selalu menghayal, berharap suatu saat
bisa mengikuti ajang yang sudah cukup lama diadakan dan kelasnya sudah
internasional. Bukannya sok (saya akui bahkan saya bukan penulis sastra,
menulis pun masih seadanya, hahaha) tapi saya senang mendengarkan orang-orang
yang inspiratif dan penuh ide, karena hal itu secara tak langsung memberikan
dampak positif bagi saya. Apalagi, saya cukup menyukai dunia literasi baik
menulis maupun membaca.
Nah, mumpung acaranya sedang di kota tercinta, Bandung, maka saya tak menyianyiakannya. Full acaranya dilaksanakan pada 4-8 September 2019. Tapi karena kerja saat weekday, maka saya hanya bisa mengikuti acaranya sejak Jumat, 6 September sore hingga hari Minggunya. Meskipun tidak mengikuti acaranya sejak awal, beruntungnya Bandung Readers Festival (BRF) menyediakan berbagai dokumentasi yang bagus dan kreatif. Bahkan, untuk pertama kalinya saya tahu ada istilah graphic recording karena mengikuti event ini.
Sesi pertama yang saya ikuti.
Graphic recording merupakan suatu bentuk dokumentasi atau notulensi yang mencatat jalannya suatu acara atau diskusi dalam bentuk grafis baik tulisan maupun gambar dan tanda-tanda panah. Sekilas sperti flow chart. Para graphic recorder (sebutan bagi yang membuat recordingnya) harus menyimak setiap jalannya acara atau diskusi sambil membuat gambar dan tulisan mengenai inti informasi yang sedang disampaikan.
Graphic Recorder karya Mba Riri
Ada dua graphic recorder yang saya saksikan selama event ini dari Visualogic.gr yakni Kang Imawan dan Mba Riri. Hasil gambar mereka sangat bagus dan informatif. Saya agak terpecut karena sejujurnya sejak kecil, menggambar adalah salah satu hal yang biasa saya lakukan. Namun, sejak masuk asrama, hal itu harus saya tinggalkan karena waktu dan pikiran saya terpaksa harus fokus ke palajaran akademik yang cukup banyak. Hal ini cukup saya sesali, sih huhuhu. Pesan morilnya, bagi kalian yang dari kecil sudah memiliki hobi dan bakat di satu bidang, tekadkan hati dan kembangkan dengan serius setiap hari.
Kang Imawan sedang melakukan graphic recording.
Jangan takut apakah nantinya akan dapat penghasilan dari
bidang tersebut atau tidak. Percayalah, saat kita benar-benar mencintai dan
sungguh-sungguh dalam bidang tersebut, ada saja rezeki yang datang. Seringnya,
yang menjadi persoalan beratnya adalah kita terlalu memikirkan bagaimana
pandangan dan penilaian orang lain akan hidup kita, terutama hal yang kita
lakukan untuk mendapatkan uang. Tapi sesungguhnya, yang paling penting adalah
pekerjaan itu halal dan kita content selama melakukannya setiap hari.
Kembali ke laptop, eh ke BRF! Jadi ada beberapa sesi yang
sempat saya ikuti. Dalam lima hari pelaksanaan, setiap harinya ada beberapa
sesi dengan narasumber-narasumber yang sangat mumpuni sesuai bidangnya. Untuk
fokus dan menghemat energi agar lebih efektf, saya memilih beberapa sesi dengan
narasumber yang memang saya tahu dan ikuti di instragram. Jadi ada tiga sesi
utama yang jadi prioritas untuk saya ikuti. Apalagi sesi-sesi ini dilaksanakan
di beberapa tempat yang berbeda. Seperti di Abraham & Smith, Nu Art
Gallery, Museum Gedung Sate, Rumah The Panasdalam, dan IF.
Halaman Gedung Sate yang cerah di sesi kedua yang saya ikuti.
Pertama sesi Dinamika Ngeblog bersama Nike Prima dan Bandung Diary. Dua narasumber ini sudah cukup saya tahu bia instagram. Content keduanya sangat berbeda tapi kuat. Jadi, saya sangat semangat untuk dapat mendengarkan dan belajar dari kedua narasumber ini. alhasil, selama hampir dua jam sesi, saya sangat senang dan pulang membawa banyak ilmu baru. Senangnya lagi, Teh Anggi Bonyta yang menjadi moderator membawakan dua sesi ini dengan sangat menyenangkan dan informatif.
Nike Prima dari Loving Living.
Satu-dua hal yang bisa saya bagikan dari apa yang mereka
sampaikan adalah: yang penting terus menulis tanpa memikirkan akankah nanti
tulisan kita akan memiliki penggemar atau tidak. Tulislah hal-hal yang menarik
sesuai dengan apa yang menjadi ketertarikan kita karena akan sangat berbeda
hasilnya dengan menuliskan hal-hal yang tidak begitu kita sukai. Selain itu,
manfaatkan berbagai media sosial yang ada saat ini untuk bisa menyebarkan
bahkan mempromosikan tulisan-tulisan kita.
Sesi kedua yang saya ikuti adalah Modus Penyebaran Teks
karena salah satu narasumbernya adalah Lala Bohang. Dia seorang ilustrator
sekaligus penulis yang sudah menghasilkan beberapa buku. Dia bahkan sering
melakukan pameran di berbagai kota di Indonesia. Sesi yang hampir dua jam ini
pun juga menarik dan penuh informasi baru. Salah satu hal yang paling saya
ingat dari Lala Bohang adalah bahwa proses kreatif yang paling penting ada di
dalam diri kita sendiri. Bukan terkait dengan selera pembaca, tidak terkait
sistem algoritma social media, tapi di dalam diri kita. Selama kita content,
maka karya yang kita hasilkan jujur dan nantinya akan menemukan penggemarnya
sendiri atau bahkan penggemar itu yang akan menemukan tulisan kita.
Sesi kedua, ada Lala Bohang di sana.
Selama acara BRF berlangsung, banyak workshop yang dilaksanakan, tapi karena faktor waktu, saya tidak ikut workshop apapun. Tapi saya tertarik dengan salah satu activity di BRF yakni donasi buku anak di Lemari Bukubuku. Uniknya, setiap donatur buku akan dibuatkan gambar ilustrasi wajah. Saya mendonasikan graphic novel favorit saya, Chicken Soup. Ini adalah salah satu novel grafis yang inspiratif dan sarat pesan positif. Berharap agar anak-anak yang mendapatkan donasi ini bisa belajar banyak dari buku ini. Saya pun dibuat gambar ilustrasi oleh Mas Faisal dari Lemari Bukubuku. Hasilnya, saya langsung suka dan gambar ini jadi foto profil di berbagai social media, haha. Makasih, Mas!
Selain itu, ada bazar buku dan banyak buku-buku indie atau
lokal yang dijual selama acara ini. Saya pun beli satu buku yang sudah dicari-cari di
Gramedia manapun di Bandung dan sudah kosong. Eh, ketemunya di bazar BRF ini. Buku
apa dan apa yang membuat saya ingin sekali membacanya, akan saya ulas di postingan
yang akan datang ya. Stay tuned! Cailaaah.
Puncak dari acara ini yakni talskhow dan performance dari
Pusakata. Penyuka musik indie dan folk pasti familiar sekali dengan Mas Is yang
sekarang mengusung nama panggung Pusakata. Seperti yang kita tahu, Mas Is
adalah mantan vokalis sekaligus pembentuk Payung Teduh, band indie dengan
musikalitasnya yang khas. Tak ingin mengulas tentang kenapa keluar dan
meninggalkan Payung Teduh, saya lebih tertarik mengulas makna dan pesan yang
saya dapat selama dua jam performance Pusakata.
Pusakata bersenandung.
Mas Is sendiri sangat hobi membaca berbagai jenis buku. Dia juga cerita, dulu sempat gandrung main teater. Makanya tak heran ya, kata-kata dalam lagunya sangat kaya dan indah. Kadang bermajas, kadang hanya kata biasa tapi dirangkaikan dengan pilihan padanan kata yang pas. Yang dituliskan pun tak melulu tentang cinta dua insan. Ia juga bercerita bahwa ada lagu-lagu yang menceritakan hubungan dengan Tuhan.
Mas Is Pusakata.
Mas Is berpesan, kita jangan egois dan mengeksklusifkan diri.
Jangan egois dalam berkarya. Karena seni itu hakikatnya sebagai wujud syukur
kepada Tuhan dengan cara mengekspresikannya, baik melalui tulisan, lagu, musik,
dan seni lainnya.
Yang paling menyenangkan adalah, semua lagu-lagu yang
dibawakan Pusakata baik yang terdahulu sampai yang terbaru dibawakan dengan
gubahan baru. Bahkan lagu-lagu yang dulu sering kita dengar setiap harinya
dibawakan dengan musik yang lebih segar dan menghanyutkan. Meskipun tak ada
tangan hangat dalam genggaman, lagu Pusakata sudah sangat menghangatkan
perasaan, ciaaaaa!
Panggung kecil namun syahdu.
Tanya-jawab berlangsung akrab dan fun. Bahkan Mas Is
mengakui bahwa performance kecil dan intim begini lebih menyenangkan baginya.
Penonton alias para pengunjung BRF pun semua serba kalem dan santai. Pastinnya
tetap bernyanyi bersama, tapi tidak ada yang teriak-teriak atau bahkan
rebut-rebutan saat Mas Is melemparkan pick untuk beberapa penonton. Oh ya, saat
melemparkan pick terakhir, Mas Is melirik ke saya dan melemparkannya dengan
santai. Alhasil pick itu jatuh di depanku. Mas-mas yang duduk di sampingku
melihat santai dan tidak berusaha merebutnya. Wah, beda sekali ya penonton yang
terliterasi dengan yang masih kurang, hahaha, peace! Sejak datang ke BRF, saya
jadi semangat untuk datang ke berbagai festival lainnya.
Selain senang traveling dan menulis, saya juga senang
mengikuti forum, workshop, atau konferensi. Menurut saya, menghadiri
acara-acara begini akan membuka wawasan, saya jadi lebih tahu berbagai hal, dan
menambah kosakata. Mengikuti acara seperti ini pun membuat saya semakin peka
dengan lingkungan dan sosial.
Sekarang semakin banyak orang atau pihak yang ingin memfasilitasi ide-ide dan agar semakin diketahui khalayak luas. Hal-hal seperti ini sudah banyak di luar negeri. Sering lihat kan di berbagai film barat ada scene sekelompok orang yang duduk di kursi membentuk lingkaran dan bercerita satu sama lain, tentang pengalaman, gagasan, atau harapan mereka.
Bersyukurnya, hal seperti ini sudah mulai marak di Indonesia. Banyak talkshow atau festival berbagai genre yang mulai hadir di tengah-tengah masyarakat, meskipun hampir semuanya masih diselenggarakan di pusat-pusat kota. Seperti yang saya ikuti baru-baru ini, yakni TEDxJakarta.
TEDxJakarta Tahun 2019 bertema Ribut Reboot
TED sendiri merupakan organisasi media yang menyelenggarakan dan mempublikasikan pembicaraan atau talkshow. Mereka memiliki tagline “Ideas Worth Spreading” atau ide-ide yang layak disebarkan. Sejak tahu tentang TED beberapa tahun lalu lewat youtube, saya pun pernah berandai-andai suatu saat bisa mengikuti forum ini.
Di luar negeri, acara ini sudah sering dilaksanakan sejak lama. Beruntunglah karena saat ini, di Indonesia pun sudah diadakan beberapa kali oleh berbagai pihak di berbagai kota. Seperti TEDxJakarta, TEDxBandung, TEDxUbud, bahkan ada yang berafiliasi dengan kampus-kampus seperti TEDxUGM, TEDxTelkomU, TEDxITB, dll. Bersyukur sekali karena generasi muda sudah sangat peka dengan hal-hal seperti ini. Yeaaay!
Harga tiket TEDx seperti ini di kisaran Rp400 ribuan. Tapi biasanya ada harga khusus jika pembelian lebih awal. Namun, saya sangat beruntung karena bisa mendapatkan tiket VI P gratis karena ikut giveaway dari DBS yang merupakan sponsor acara TEDxJakarta 2019 lalu. Giveaway-nya yakni saya harus memberikan ide ataupun menceritakan hal yang sudah mulai saya lakukan untuk gerakan zero waste. Karena beberapa waktu belakangan hal ini sudah saya lakukan, jadi saya tinggal menceritakannya dengan sederhana. (Tentang hal ini akan saya ceritakan di artikel khusus nantinya ya).
Ikon TEDx menyambut di sepanjang trotoar menuju gedung acara.
TEDxJakarta kali ini diselenggarakan di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Seumur hidup, saya belum pernah ke taman ini. Jadi, ini akan
menjadi “sekali mendayuh, dua tiga pulau terlampaui” bagi saya. Dari Bandung,
saya naik Kereta Api Argo Parahyangan dengan tujuan Stasiun Gambir. Dari Gambir,
saya tinggal naik ojek online dan ternyata tidak begitu jauh.
Menyapa Pak Ismail Marzuki sebelum masuk.
Pertama kali sampai di Taman Ismail Marzuki, saya cukup
takjub melihat begitu megah dan lengkapnya taman ini. Banyak anak muda yang
beraktivitas bersama di sekitar taman ini, seperti latihan menari, latihan
teater, dan lain sebagainya. TIM sangat bagus dan lengkap.
Keseruan di TIM
Awalnya hanya dua pembicara yang memang sudah cukup familiar bagi saya yakni Kenny Santana atau yang lebih dikenal dengan nama Kartupos di berbagai akun media sosialnya, dan Grace Natalie yang mantan jurnalis dan kini menjadi anggota legislatif. Saya sangat antusias dengan Kenny Santana karena merupakan salah satu traveller yang cukup punya nama dan diakui di Indonesia.
Namun, setelah mengikuti semua sesinya, ternyata semua
pembicara ini adalah orang-orang yang sangat kaya wawasan dan sudah melakukan
“sesuatu” bagi masyarakat melalui bidangnya masing-masing. Saya akan
menceritakan secara garis besar apa saja materi, ide, dan harapan yang
disampaikan oleh masing-masing pembicara.
Widharmika Agung
Dia seorang kelahiran Bali yang menjadi pendiri Indorelawan.org, sebuah organisasi non profit yang bergerak dalam bidang volunteering berbasis web. Organisasi ini telah memiliki ribuan voluntir dari berbagai latar belakang baik suku, agama, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain.
Bli Widhar bahkan bercerita mengenai salah satu voluntir militannya yang merupakan seorang OB yang tinggal di daerah kumuh di pinggiran Jakarta. Namun, OB ini berhasil membuat gerakan pendidikan di daerah tempat tinggalnya, yakni mengajari anak-anak yang tidak bisa memperoleh pendidikan seperti menulis, membaca, berhitung, dan lain-lain.
Gerakan ini sudah merambah di seluruh Indonesia dan di berbagai sektor yang beragam. Mulai dari pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan lainnya. Sangat-sangat menginspirasi! (Tapi, saya minta maaf karena lupa ambil foto Bli Widhar, saking terbawa suasana, hahaha).
Kenny Santana
Ko Kenny lebih dikenal dengan nama alias Kartupos karena kegemarannya traveling dan hunting berbagai kartu pos unik dari negara-negara atau tempat yang pernah dia datangi. Dia menceritakan banyak hal yang tidak pernah ia ceritakan di seluruh social media-nya. Bagaimana ia dicap sangat beruntung oleh orang-orang di sekitarnya, padahal proses yang ia lewati juga tidak mudah.
Ia menceritakan bahwa ketidakberuntungan mungkin akan diikuti dengan keberuntungan dalam bentuk yang berbeda. Jadi, hidup ini semacam circle yang harus kita jalani dengan happy dan ikhlas, termasuk dalam hal traveling. Akan ada ketidakberuntungan saat melakukan traveling yang kelihatannya merupaka hal yang gampang dan sangat menyenangkan. Namun, di balik ketidakberuntungan itu ada saja keberuntungan yang menanti.
Sesi Kenny Santana, Sang Travel Storyteller.
Fadly Rahman
Seorang sejawaran dan dosen dari almamater tercinta, Universitas Padjadjaran. Beliau memfokuskan dirinya mempelajari sejarah kuliner dan berbagai panganan di Indonesia. Ini salah satu sesi yang sangat mindblowing buat saya. Ternyata saya tidak tahu apa-apa mengenai sejarah makanan yang hampir tiap hari saya makan.
Bahwa makanan jenis Soto saja pun memiliki filosofi dan hubungan dengan perkembangan bangsa Indonesia. Indonesia sangat kaya, dan generasi sekarang harus bisa mempertahankan kekayaan itu dengan mempelajari sejarah bangsa dan bagaimana bangsa ini dibentuk, berdiri, dan berkembang. Banyak faktor yang sangat mempengaruhi, bahkan kuliner pun menjadi salah satu di antaranya. (Di sesi ini pun saya lupa ambil foto, saking terkesima dengan materinya.)
Grace Natalie
Grace Natalie dan paparannya yang menggugah.
Dulu saya mengenalnya sebagai seorang jurnalis di salah satu TV swasta nasional. Namun, saat ini dia berkiprah dalam dunia politik Indonesia. Saya tidak akan membicarakan mengenai parpolnya atau kubunya, karena acara TEDx ini murni mengenai ide yang berharga dan pantas untuk disebarkan bagi seluruh masyarakat.
Salah satu yang saya soroti adalah faktor yang mendorong Grace terjun ke dunia politik karena keresahan dan keprihatinannya dengan berbagai regulasi yang kebanyakan diskriminatif, salah satunya terhadap kaum perempuan. Berbagai perda di berbagai daerah juga ternyata diskriminatif terhadap golongan tertentu.
Grace juga bercerita bahwa tak pernah dalam impiannya untuk terjun ke dunia politik dan berkutat di dalamnya. Namun, keresahan yang dirasakannya adalah motivasi yang membuatnya harus berbuat sesuatu. Ia tidak ingin kehidupannya dikontrol oleh segelintir orang. Itulah arti politik yang sebenarnya, yakni memberikan andil, perhatian, dan suara untuk membentuk regulasi yang akan mengatur kehidupan masyarakat.
Setiap masyarakat memiliki hak untuk dapat mengarahkan hidupnya. Maka, jangan cuek dengan politik, jangan menganggapnya sebagai hal yang hanya memusingkan dan tidak berguna. Percayalah, jika kita pasrah dan tidak mau tahu, itu artinya kita sedang membiarkan segelintir orang yang akan menentukan hidup dan masa depan kita melalui berbagai regulasi.
My-Lan Dodd
Sesi yang membuat saya menangis.
Satu-satunya pembicara yang langsung datang dari luar negeri, yakni Amerika Serikat. Dia merupakan mantan atlet profesional yang kini mengabdikan dirinya untuk membantu orang-orang tidak mampu, khususnya perempuan terkait hak kepemilikan tanah. Dia dan organisasinya sudah membantu banyak orang di berbagai negara, termasuk saat ini mereka tengah bekerja membantu orang-orang di Indonesia, salah satunya di daerah Sulawesi. My-Lan bercerita dengan full english namun ceritanya juga sangat mindblowing dan sangat mengharukan.
Dia bercerita bahwa yang memotivasinya untuk melakukan pekerjaannya
sekarang adalah seorang perempuan asal Vietnam yang setelah perang Vietnam
mengadu nasib ke Amerika Serikat. Dari tak punya apa-apa, dia bekerja keras,
sedikit demi sedikit mengumpulkan materi. Seiring waktu, perempuan Vietnam ini
berkeluarga dan memiliki keturunan. Ia kemudian menyadari bahwa memiliki hak
tanah sangat penting bagi setiap orang, khususnya yang akan melanjutkan hidup
dengan meneruskan sebuah keluarga.
Meski serba terbatas, perempuan Vietnam ini bahkan tidak bisa membaca dan menulis, namun dengan kegigihannya, ia akhirnya bisa memiliki tanahnya sendiri dan membangun tempat tinggal bagi keluarga dan anak-anaknya. Perempuan Vietnam itu adalah ibu kandung My-Lan sendiri. (Huaaa, asli semua langsung standing ovation dengar paparannya yang sangat inspiratif dan mengharukan. Saya bahkan menitikkan air mata. Saya sangat jatuh cinta dengan caranya bercerita, dia menyimpan GONG-nya di akhir. Aduh, teknik bercerita ini yang harus dipelajari).
Ahmad Arif
Sang Penggiat Tanggap Bencana.
Mas Ahmad Arif merupakan jurnalis KOMPAS yang saat ini mengfokuskan diri untuk membuat berita dan berbagai artikel kajian mengenai lingkungan, khususnya bencana alam. Dia jugalah yang menjadi penggagas Ekspedisi Cincin Api KOMPAS yang dulu sangat terkenal. Saya bahkan sempat mengikuti tiap episodenya. Mas Ahmad Arif menceritakan pengalaman mendalam bahkan trauma yang mendorongnya untuk mengabdikan diri mempelajari dan mensosialisasikan bencana alam di Indonesia.
Saat ini, selain terus menulis di KOMPAS, dia pun
mengabdikan diri untuk berkeliling Indonesia membuat sosialisasi ke masyarakat
mengenai pengetahuan sadar bencana sejak dini. Hal ini karena tingkat kesadaran
dan wawasan masyarakat Indonesia mengenai bencana alam masih sangat minim. Padahal,
alam Indonesia memang secara geografis sangat rentan terkena berbagai bencana
alam, seperti gempa, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan lain
sebagainya.
Ia bahkan membuat quote yang membuat merinding “Bukan gempa dan tsunami yang bisa membunuh kita, tapi ketidaktahuan kita”. Dalam!
Erik Prasetya
Sang Pembeku Kenangan.
Pak Erik merupakan jurnalis foto senior. Dia sudah menerbitkan buku berisi essay foto di balik hingar-bingarnya Kota Jakarta. Dalam sesinya, Pak Erik menunjukkan hasil jepretan kameranya, mulai dari era lawas hingga yang anyar.
Salah satu hasil foto yang membekas bagi saya adalah foto portrait seorang Pak Tua korban kesewenang-wenangan salah satu rezim di Indonesia. Sangat mengenaskan. Namun, hal itu menyadarkan saya bahwa kita memiliki kendali agar pemimpin yang diinginkan bukanlah orang dari golongan tersebut. Bahkan, pemimpin yang saya inginkan adalah yang takut berbuat jahat dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Farwiza Farhan
Sang Konservator.
Sesi pamungkas yang ditutup dengan indah dan kuat. Kak Farwiza mengabdikan diri sebagai seorang pekerja konservasi di Taman Nasional Leuser, Aceh. Perjuangannya sangatlah berat karena banyak tekanan dari berbagai pihak. Tadinya, dia sudah sangat nyaman di Australia. Namun, kenyamanan itu justru membuatnya resah.
Beruntungnya, Kak Farwiza dikelilingi orang-orang profesional yang sangat peduli dengan lingkungan dan satwa yang terancam punah. Salah satunya fotografer idolaku, Paul Hilton. Kak Farwiza juga menceritakan berbagai kasus yang berhasil dimenangkan yang akhirnya berpihak pada satwa yang hampir punah ini. Kak Farwiza juga menyampaikan materinya full english. Ia mengajak semua pihak untuk peduli terhadap alam khususnya daerah-daerah konservasi yang menjadi rumah bagi para satwa yang dilindungi.
Selain para pembicara tunggal ini, ada beberapa sesi pemutaran video TED pilihan dan semuanya sangat menginspirasi dan membuka mata. Ada juga sesi materi yang sangat menghibur dari Keroncong Musyawarah dan Teater Pandora.
Mereka membawakan semua lagunya dengan indah.
Lucunya, saya bukanlah penikmat musik keroncong dan sangat awam dengan dunia teater. Namun, kehadiran dua grup seni ini membuka pemahaman saya bahwa dua dunia itu ternyata sangat menyenangkan dan ada pesan filosofis yang dibawa.
Sesi TEDx hari itu saya tutup dengan menikmati senja di TIM bersama puluhan anak muda yang menghabiskan sore itu dengan berbagai aktivitas seni. Di tengah sengkarutnya kehidupan negeri ini, ternyata selalu ada sisi dan titik yang peduli. Yang cinta kepada negeri ini dan menyuguhkannya dengan keindahan yang menawan.
Tidak lupa menuliskan ide-ide yang berharga bagi lingkungan sekitar.
Mungkin ada yang ingat di post sebelumnya, tertulis bahwa saya lumayan jago soal ingat-mengingat yang sentimentil. Entah kenapa, masa kecil saya penuh dengan kenangan dan impian yang unik. Misalnya, saking gandrungnya dengan kartun terlebih anime Jepang, saya sampai pernah berantem dengan ibu rebutan remote TV. Ibu ingin nonton sinetron sementara saya mau nonton Detektif Kindaichi. Alhasil, tangisan yang keluar dari mulut anak perempuan penghayal ini memenangkan pertarungan. Ibu dengan wajah masam akhirnya menyerahkan remote ke pangkuan saya. Hahaha, maafkan kelakuan saya dulu ya Bu!
Terbatas hanya bisa menonton TV dan membaca seputar anime di Majalah Bobo, saya terus terpikir dengan negara Jepang yang keren dan mampu membuat berbagai anime yang membuat saya jatuh cinta. Saya masih ingat, suatu malam saat sudah terbaring di kasur sebelum tidur, saya menatap poster Kapten Tsubasa yang tertempel di dinding papan kamar. Saya pun bergumam, “Suatu saat, jika sudah punya duit sendiri, saya akan ke Jepang. Saya akan membeli berbagai hal tentang anime yang saya sukai, dan saya akan melihat hal-hal menarik yang ada di anime langsung di negaranya.” Sambil menatap wajah Kapten Tsubaya, saya mengaminkan impian itu. Saat itu kelihatannya muluk, tapi wajah optimis Kapten Tsubasa yang memang terkenal pantang menyerah seolah menyiratkan impian itu bukan mustahil untuk diwujudkan.
Selang belasan tahun, tepatnya pada 2016, impian itu pun nyata. Tak hentinya saya mengucapkan Puji Tuhan karena impian si penghayal cilik di kamar berdinding papan belasan tahun silam itu akhirnya tercapai. Saya bersama beberapa teman melakukan perjalanan selama 10 hari di Jepang. Jepang adalah negara pertama yang saya kunjungi. Ya, saya belum pernah ke Malaysia, Singapura, dan Thailand meskipun sekian banyak teman kerja telah bolak-balik ke sana.
Gerbang shrine yang sering muncul di anime-anime kan? Ini di Fushimi Inari, Kyoto.
Entahlah, buat saya, semua hal terlebih traveling itu harus ada alasan dan motivasinya. Apalagi, perjalanan keluar negeri jika menggunakan biaya sendiri tentu butuh proses menabung. Saya tak pernah iri melihat teman-teman yang sudah keliling negara Asean atau negara lainnya. Itulah perjalanan mereka, bukan perjalanan saya. Seperti saat ke Jepang ini, impian dan kenangan masa kecil menjadi salah satu motivasi saya. Bukan sekadar agar pernah keluar negeri, terus pamer foto-foto di social media, atau mengumpulkan cap imigrasi di paspor. Tidak, buat saya, traveling tidak tentang hal-hal itu.
Maka, saya ingin menikmati perjalanan di Jepang lebih dari sekadar foto-foto. Saya lebih menikmati duduk di pinggir jalan atau bangku taman sambil melihat sekeliling, menyaksikan aktivitas warga lokal, merasakan ambience-nya, mendengar hiruk-pikuknya, dan mendatangi tempat-tempat menarik yang unik untuk lebih mengenalnya lebih dalam.
Duduk tenang di tepi taman sambil menikmati suasana dan menyaksikan warga lokal adalah aktivitas traveling favorit saya.
Dari berbagai genre anime, saya paling menyukai kisah kehidupan
sehari-hari ataupun yang ada sentuhan misteri dan sihir di dalamnya. Seajaib apapun
cerita di anime, tetap ada satu-dua scene yang memang terinspirasi dari
aktivitas atau kebiasaan di dunia nyata. Maka, inilah beberapa hal yang dulunya
hanya saya lihat di anime dan akhirnya bisa saya saksikan langsung di kehidupan
nyata di Jepang.
Menyaksikan Hanami
Tradisi Hanami atau menyaksikan
bunga sakura mekar sambil piknik bersama keluarga atau teman ini biasa
disajikan dalam berbagai anime, mulai dari Doraemon, Sinchan, Card Captor Sakura,
Chibi Maruko-Chan, dan masih banyak lagi.
Biasanya saat pergi ber-Hanami, masing-masing akan membawa makanan untuk dimakan bersama saat piknik. Tak jarang ada juga yang ber-barbekyu ria di lokasi-lokasi Hanami. Nah, saat saya mengunjungi Hakodate, Hokkaido, saya pun bisa menyaksikan secara langsung tradisi itu. Bahkan, warga lokal pun melakukan tarian-tarian dan bernyanyi bersama penuh suka cita.
Piknik bersama keluarga dan menikmati bunga sakura dengan berhanami.
Ternyata, tradisi Hanami ini tidak sekadar piknik dan memandangi bunga sakura mekar. Lebih dalam, tradisi ini sebagai bentuk mengapresiasi kehidupan. Bunga sakura sendiri dipercaya sebagai filosofi kehidupan, bahwa ada masanya hidup itu lahir, bertumbuh, berbunga, kemudian akan berguguran. Karena itu, menikmati setiap detik kehidupan dengan melakukan yang terbaik semaksimal mungkin adalah salah satu cara mensyukuri hidup. Dalam sekali ya! Oh ya, tradisi hanami pernah saya bahas di tulisan saya untuk Detik Travel berikut !
Menyaksikan Anak Sekolah Bersepeda
Tak terhitung berapa banyak anime yang menyuguhkan scene anak-anak sekolah baik perempuan atau laki-laki yang bersepeda saat akan berangkat maupun pulang. Hal itu karena dalam kehidupan nyata, masyarakat Jepang memang lebih sering menggunakan sepeda untuk bepergian. Maka, saat menyaksikannya langsung di Jepang, saya pun cukup maklum. Namun, tetap saja ada sensasi yang membuncah karena kenangan kecil melihat tokoh-tokoh anime bersepeda ke sekolah bisa saya lihat langsung di dunia nyata.
Anak sekolah bersepeda di Kota Himeji.
Melihat Anak-Anak TK dan Bis Sekolahnya
Anime seperti Chibi Maruko-Chan, Sinchan, Baby and I, dan masih banyak lagi sering mengambil cerita saat berada di bis sekolah. Baik aktivitas saat dijemput ataupun diantar pulang ke rumah. Sekilas aktivitas ini sangat biasa, tapiii, bagi saya tetap sentimentil saat akhirnya bisa menyaksikannya di dunia nyata, hahaha.
Anak-anak TK berbaris menuju bus sekolah di Kyoto.
Anak-anak kecil di Jepang benar-benar mirip seperti yang ada di anime. Mereka menggemaskan dengan pipi merona merah. Tentu sering lihat kan di berbagai anime? Anak kecil biasanya diilustrasikan dengan lingkaran merah di pipinya. Lingkaran merah itu adalah pipi mereka yang merona. Aslinya juga memang seperti itu.
Warga Jepang gemar menghabiskan waktu bersama keluarga di taman. Bahagia ya!
Menyaksikan Gadis Berkimono Berdoa di Shrine
Sejak kecil, kita pasti tahu bahwa gadis Jepang sering menggunakan pakaian tradisional yang biasa disebut kimono. Ternyata, pakaian tradisional ini banyak jenisnya dan masing-masing penggunaannya berbeda, begitupun namanya. Di Sailor Moon, Card Captor Sakura, dan anime lainnya, saat-saat perayaan, gadis-gadis Jepang biasa menggunakan kimono dan berdoa di shrine.
Para gadis berkinomo di shrine.
Saat di Jepang, saya mengunjungi
beberapa shrine, dan bisa menyaksikan bahwa aktivitas gadis berkimono itu
memang seindah scene-scene di anime. Suasananya begitu khusuk dan syahdu. Setelah
berdoa, terkadang mereka akan mengambil kertas atau kayu harapan dan menggantungkannya
di tempat yang sudah disediakan di shrine. Syahdu ya!
Kertas doa dan harapan.Syahdu…
Anak Sekolah Membaca di Kereta
Masyarakat Jepang terkenal sangat gemar menggunakan transportasi massal. Selain praktis, hal ini karena sistem transportasi di sana memang sangat memadai dan maju. Maka, masyarakat sangat nyaman menggunakannya bahkan anak kecil sekalipun. Beberapa anime kerap menunjukkan scene anak-anak SD, SMP, SMA yang naik kereta setiap akan berangkat atau pulang sekolah. Saat di dalam kereta, mereka biasanya membaca buku dengan serius. Baik buku pelajaran, komik, ataupun novel.
Serius sekali.
Saat menaiki kereta lokal di sana, saya pun bisa menyaksikan
anak-anak sekolah sering bersemangat masuk ke kereta, mengambil tempat duduk, dan
menghanyutkan perhatiannya di buku masing-masing. Raut wajah mereka tampak
sangat serius dan fokus.
Salut ya, fokus sekali.
Mendengar dan Melihat Burung Gagak
Meskipun ada beberapa anime yang suka menyisipkan scene ini, tapi bagi yang sering baca manga atau komik Jepang pasti paling paham. Jika suatu keadaan menjadi sangat canggung, hening, atau garing, pasti sering muncul burung gagak dengan suara khasnya kwak… kwak.. kwak… untuk memecah keheningan dan kegaringan. Saat di Jepang kemarin, saya beruntung bisa melihat beberapa burung gagak bertengger di pohon, meskipun mereka tak mengeluarkan suara khasnya itu. Mungkin tidak keluar karena memang suasana hatiku tidak garing saat itu, jadi mereka membacanya dan diam saja (Hahaha, terlalu maksa malah jadi garing ya).
Kwak kwak kwak!
Berjalan Santai di Bawah Bunga Sakura Sambil Memakai Kimono
Tak terhitung anime yang menyuguhkan scene khas musim semi
ini. Para gadis akan menggunakan kimono warna cerah dan motif bunga dan
berjalan santai di bawah rindangnya bunga sakura yang bermekaran. Saat kecil
dulu, saya pun menghayal ingin menggunakan kimono sambil berjalan di bawah
bunga sakura. Oh ya, kimononya berwarna pink karena saya penyuka warna itu.
Cantiknya…bunga sakuranya!
Akhirnya, saat di Hokkaido khayalan itu menjadi nyata. Dengan uang sewa yang murah jika dibandingkan dengan saat di Tokyo dan Kyoto, seharian saya memakai kimono pink sambil berkeliling di bawah sakura yang sangat rindang. Meskipun sakura yang mekar saat itu berwarna putih, tak sedikitpun mengurangi kebahagiaan dan sukacita di hati. Cerita cantiknya bunga sakura sambil menyaksikannya berkimono pernah juga saya tulis untuk Detik Travel, baca ya!
Saya pun bertemu dengan beberapa cosplayer lokal dan berfoto bersama. Meskipun hal ini kerap saya lakukan di Indonesia, tapi lebih unik rasanya berfoto bersama cosplayer tokoh anime di negara asalnya.
Setelah perjalanan Jepang, saya jadi paham betul makna impian dan bagaimana rasanya kerja keras itu berbuah manis saat impian terwujud di depan mata. Jadi, jika kalian punya impian kecil dan ingin mewujudkannya, yakinlah jika berusaha dan berdoa, pasti bisa! Amin!
Bermimpilah, maka Tuhan akan memluk mimpi-mimpimu. – Arai, dari Novel Andrea Hirata berjuful Sang Pemimpi.
Sepanjang yang saya ingat, awal tahun 2000-an adalah
masa-masa mulai bangkitnya gairah masyarakat untuk mulai menonton film. Saat itu,
saya masih kelas 5 SD, dan untuk urusan ingat-mengingat yang sentimentil, saya
adalah jagoannya (sometimes this is a
kind of a curse too, hahaha, you know
what i mean). Film Kuch Kuch Hota Hai adalah
gara-garanya. Film asal India ini mempesona semua kalangan hingga yang di
kampung sekalipun, karena saya tinggal di kampung. Tak hanya karena musik dan
joged khas bollywood yang bisa menghipnotis pendengarnya untuk ikut bergoyang,
ceritanya pun ‘sadis’ mengoyak emosi penonton, plus sajian lokasi-lokasinya
yang membuat penonton terkesima dan penasaran, “dimana gerangan tempat indah ini?”
Setidaknya, itu jugalah yang terbersit dalam benak seorang
anak kelas 5 SD saat itu. Padang bunga kuning yang cantik, lereng gunung yang
sejuk, gunung-gunung yang gagah, bangunan-bangunan tua khas India yang megah
membuat saya berangan-angan untuk suatu saat bisa ke sana dan melihat langsung
keindahan itu. Seiring waktu, saya pun tahu bahwa India memang memiliki alam
dan budaya yang sangat indah dan kaya.
Saya pun bertumbuh menjadi orang yang bisa menikmati
film-film dan TV series. Thanks to My Dad,
karena awal tahun 2000-an, kampung halaman kami bahkan kota yang terdekat pun
belum memiliki fasilitas bioskop, maka VCD
atau DVD player adalah solusi canggih
kala itu. Meskipun bisa telat beberapa bulan dari euforia sejak rilisnya, bagi
kami yang terpenting adalah bisa menikmati filmnya bersama keluarga.
Beruntungnya, ayah saya memiliki sahabat yang saat itu membuka usaha rental VCD dan DVD. Canggihnya, semuanya asli. Saya masih ingat, ayah sering membawa banyak film untuk diputar di rumah. Kalau tidak salah, biasanya rental-rental dulu punya aturan dalam sekali peminjaman hanya bisa meminjam maksimal 5 judul film. Tapi ayah saya bisa membawa lebih bahkan 10 judul. Katanya, “Nggak percuma kan yang punya rental sahabat sendiri”. Hahaha, baiklah. Untung bukan perusahaan ya, kalau tidak bisa-bisa dituduh nepotisme.
Toys Story 2, Balto, Sleeping Beauty, dan aneka film Disney lainnya menjadi santapan rutin saya dan saudara-saudara saat itu. Seiring bertambah usia, film-film santapan saya pun mulai berbeda genre, mulai dari Harry Potter, Matrix, X-Men,Spiderman, dan berbagai film superhero lainnya. Makin hari, saya makin gandrung menonton film. Saya mulai menemukan bahwa genre favorit saya adalah sci-fi atau science fiction, superheroes, thriller (ala detektif), dan fantasi layaknya Harry Potter dan Lord of The Rings. Saya kurang suka drama percintaan, horor, dan komedi slapstik.
Sayangnya, kebiasaan itu mulai sirna saat saya masuk sekolah asrama. Selama 3 tahun saya tak menonton film secara rutin lagi. Tapi dasar sudah gandrung, kondisi itu tak lantas memupuskan kesenangan saya terhadap film, malah saya pun mulai membeli film sendiri karena rental VCD dan DVD sudah sangat langka saat itu. Saya masih ingat, dengan uang saku, saya titip ke teman yang tinggal di Medan untuk membeli VCD asli Harry Potter and The Prisoner of Azkaban dan Harry Potter and The Goblet of Fire. VCD asli milik sendiri, yang sayangnya saat ini saya lupa dimana tersimpan, duh!
King Cross Station, London. Source: Pinterest.com
Kejeniusan J.K. Rowling menceritakan Kota London dan
daerah-daerah lainnya di Inggris dalam rangkaian karya Harry Potter-nya membuat saya mulai jatuh cinta dengan negara
kerajaan kuno ini. Saya pun mulai berangan-angan untuk suatu saat nanti bisa
mengunjungi Inggris, khususnya Kota London. Dari penggambaran Rowling, saya
bisa menyimpulkan bahwa Kota London adalah kota yang sendu, sering berkabut dan
mendung, dan hanya sedikit sekali berlangit cerah sepanjang tahun.
Seiring mulai kuliah, saya mulai berkenalan dengan berbagai TV series holywood seperti Heroes dan Gossip Girl. Dua series ini membuat saya tergila-gila dengan Amerika Serikat. Bagaimana gemerlap dan majunya kota di sana seperti New York, Washington, dan kota-kota lainnya. Maka, angan-anganpun bertambah agar suatu saat nanti bisa mengunjungi New York dan kota-kota lainnya di Amerika Serikat.
Kini, daftar itu makin bertambah karena saya sedang gandrung dengan dua TV series yang sedang menyedot perhatian dunia. Stranger Things dan The Umbrella Academyadalah dua series dengan cerita dan lokasi berbeda, yang punya penggemar fanatik di dunia. Saya salah satunya, haha.
Stranger Things in Hawkins. Source: Pinterest.com
Stranger Things bercerita tentang sebuah kota kecil bernama Hawkins yang diteror berbagai peristiwa supranatural. Hawkins ini adalah sebuah kota fiktif yang terletak di Indiana, Amerika Serikat. Meskipun fiktif, tapi kehidupan tahun 83-84 yang digambarkan sangat real dalam serial ini. Cerita dimulai dengan hilangnya seorang anak laki-laki bernama Will Byers secara misterius. Hilangnya Will ini membuat gempar Kota Hawkins yang notabene merupakan kota kecil yang relatif aman sentosa. Anehnya, di saat yang berdekatan, teman-teman Will yang terdiri dari Mike, Lucas, dan Dustin menemukan seorang anak perempuan misterius bernama Eleven. Gadis kecil ini pun menyimpan banyak rahasia yang bahkan mengerikan.
Nuansa horor mulai meneror kala Will ternyata bisa berkomunikasi dengan ibunya secara supranatural. Situasi makin horor lagi saat makhluk-makhluk mengerikan mulai meneror Hawkins dan memakan korban. Film ini menggabungkan science, thriller, horor, dan drama menjadi satu series yang berhasil membuat saya menuntaskan semua episodenya secara maraton. Saya pun jatuh cinta dengan Indiana dan penasaran seperti apa kota itu.
Hawkins, Indiana in Stranger Things. source: AtlasofWonders.com
Yang menarik dari Stranger Things tak hanya karena membuat penasaran dan menyenangkan, tapi pengemasan series ini begitu sempurna. Lagu-lagu yang mengiringi, pernak-pernik, dan fashion yang dipilih benar-benar membuat saya memahami bagaimana trend tahun 80-an yang mana saya justru belum lahir saat itu. Season demi season, Duffer Brothers berhasil mengembangkan cerita dan karakter setiap tokohnya menjadi lebih kuat. Bagaimana saya yang awalnya sangat membenci Steve Harrington malah jatuh cinta di season 2 karena ternyata karakternya dikembangkan lebih baik dan justru mengambil banyak peran penting. Belum lagi, semua tokohnya memiliki kekuatan karakter yang memiliki porsi yang pas sehingga membuat saya menyukai semua tokohnya. Well, bukan Mindflyer tentunya, hahaha.
Hawkins, Indiana in Stranger Things. source: AtlasofWonders.com
Selesai dengan Stranger Things, saya butuh asupan series lainnya. Minimal yang selevel, tidak bermaksud sombong, karena jika sudah menonton Stranger Things, rasanya saya bisa memahami cerita film dan series sejenis dan bahkan bisa membaca jalan ceritanya sejak awal. Maka, saya pun mulai berburu series baru dan akhirnya jatuh cinta dengan The Umbrella Academy. Berawal karena saya sangat menyukai film/series sci-fi dan superhero, dan saat membaca sinopsis The Umbrella Academy yang menceritakan sekelompok anak yang memiliki superpower dengan latar belakang yang sangat misterius, maka saya pun mulai menonton episode pertamanya.
The Umbrella Academy. source: Pinterest.com
Satu pemikat The
Umbrella Academy bagi saya pribadi adalah keterlibatan Ellen Page sebagai
salah satu pemainnya. Saya sudah menyukai Ellen Page sejak dia berperan sebagai
Kitty alias Shadowcat di beberapa film X-Men. Saya adalah penggemar berat Kitty,
dan Ellen Page berhasil menghidupkan karakter Kitty sesuai ekspektasi saya. Saya
juga menyukai Ellen Page di Inception, salah satu film yang menurut saya sangat
jenius.
Awalnya, saya sempat menilai The Umbrella Academy ini sangat absurd. Ceritanya berawal dari sebuah peristiwa aneh, 43 perempuan muda di berbagai belahan dunia yang sama sekali tidak terindikasi hamil secara tiba-tiba dalam waktu kurang dari satu jam melahirkan anak. Maka, ada 43 anak yang terlahir bersamaan secara misterius. Tak lama, muncul lah seorang milyuner eksentrik bernama Reginald Hargreeves mulai mengumpulkan anak-anak misterius ini. Dari 43 anak, dia berhasil mengumpulkan 7 orang. Dia pun menamakan anak-anak itu dengan sebutan angka yakni Number One hingga Number Seven.
Tapi, episode demi episode, saya mulai mengerti dan malah
jatuh cinta dengan series ini. Tokoh favorit saya adalah Number Five karena
saya menemukan beberapa kesamaan dengannya. Kami sama-sama introvert, serius,
tidak suka basa-basi, hanya menyukai hal tertentu yang hanya kami yang
mengetahuinya, dan jika sudah menetapkan satu tujuan maka kami harus
mencapainya. Pemeran Number Five ini bernama Aidan Galagher yang menurut saya
sangat unik. Sekilas perawakannya seperti campuran India atau Timur Tengah,
tapi kulitnya putih dan matanya berwana abu-abu kehijauan.
Salah satu ciri kalau saya sudah jatuh cinta adalah seperti biasa, saya akan selesaikan episode awal hingga akhirnya secara maraton. Menariknya, film ini berlokasi di Toronto, Kanada dan membuat saya jatuh cinta juga dengan Kota Toronto, Kanada. Sebelumnya, Kanada belum pernah masuk dalam list impian saya. Tapi berkat TUA (kok singkatannya rada gimana gitu ya,hahaha) saya pun ingin sekali suatu saat nanti bisa ke Toronto, Kanada.
Toronto, Canada in The Umbrella Academy. Source: AtlasofWonders.com
Maka here they are: India, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada adalah racun cinta yang berhasil menggerogoti angan-angan saya berkat film dan TV series. Sejauh memberikan efek yang positif maka saya akan terus bermimpi dan berusaha hingga suatu saat nanti impian ini bisa menjadi nyata. Amin.
Karena saya sudah menyelesaikan The Umbrella Academy, kira-kira series apa lagi yang seru dan
mungkin bisa membuat saya jatuh cinta dan pingin jalan-jalan dengan lokasinya? Please, feel free to share it!
Pernahkah kalian diajak ke suatu tempat yang sebagian darinya sudah pernah didatangi dan terbersit “Ah, sudah pernah, pasti biasa saja” atau “Saya sudah pernah ke tempat yang lebih keren, jadi pinginnya sih ke tempat yang lebih keren lagi”, pernah?
Itulah yang belum lama terjadi pada saya. Saat musim libur
Lebaran kemarin, keluarga besar memutuskan untuk mengadakan acara tahunan
keluarga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Karena sudah tiga kali ke
Kepulauan Seribu dan sudah mengunjungi beberapa pulau mulai dari yang kecil
seperti Pulau Kelor, Pulau Onrust, Pulau Bulat, Pulau Bidadari, sampai pulau
yang cukup punya nama dan besar seperti Pulau Tidung, Pulau Pahlawan, dan Pulau
Pari, saya langsung merasa kalau nantinya akan melihat pemandangan sama saja.
Apalagi ditambah beberapa tahun silam, saya sudah berkunjung
ke beberapa pulau di Kepualauan Komodo dan beberapa pulau di Kepulauan Raja
Ampat, membuat saya berekspektasi makin rendah. Saya ingin mengunjungi pulau
lain di Indonesia yang karakteristiknya lebih bagus atau minimal sama dengan
kepulauan-kepulauan tersebut. Maka, Kepulauan Seribu tidak ada di list itu (sok
sekali ya, hahaha… maafkan aku yang dulu).
Akhirnya karena merasa memang butuh piknik, saya pun ikut
saja apalagi ini semua gratis. Setelah empat tahun tidak mengunjungi Muara
Angke, saya akhirnya menginjakkan kaki lagi di pelabuhan kecil ini. tidak
begitu banyak yang berubah, masih cukup kotor dan masih tercium bau. Ya wajar
juga, karena tak jauh dari pasar ikan tradisional.
Kami menaiki kapal reguler yang membutuhkan waktu tempuh
tiga jam untuk mencapai Pulau Pramuka. Selama tiga jam di atas laut lepas, saya
tidak merasa mual sama sekali, padahal suasana kapalnya cukup padat karena H-1
Lebaran. Saya mendengarkan musik dengan headset, lalu terlelap tidur, kemudian
terbangun karena perut keroncongan. Untungnya kami membawa cukup banyak makanan
kecil. Awalnya merasa tak enakan dengan orang lain yang masih berpuasa di hari
terakhir, tapi semuanya tampak tertidur pulas. Bisa jadi karena mengantuk efek
bangun sangat subuh atau karena suasana di atas kapal yang cukup suntuk
sehingga membuat mengantuk. Setelah cukup kenyang, saya lanjut tidur lagi
(hahaha, jangan heran kalau perut langsung offside menggendut).
Setelah tiga jam yang cukup bikin encok (ya ampun, mulai tua, padahal dulu mau selama apapun tetap segar dan berenergi), kami pun sampai di Dermaga Pulau Pramuka. Kesan pertama, Pulau Pramuka sudah maju karena terdapat pusat pemerintahan administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu, rumah sakit umum daerah, bank, beberapa atm, kantor pos, hingga berbagai fasilitas umum lainnya.
Pemandangan dari tepi jalan di Pulau Pramuka.
Hotel dan berbagai tempat penginapan pun sudah sangat
memadai. Sinyal provider telekomunikasi pun sangat baik. Saya langsung bernapas
lega untuk hal satu ini karena beberapa hari di sini saya masih harus berkutat
dan mengirimkan laporan setiap hari ke milis kerjaan. Iya, saya bawa laptop,
hahaha. Jadi, jangan bayangkan island hopping yang benar-benar santai dengan
pasir putih, ayunan, dan kelapa muda karena saya masih harus nyalain laptop dan
bekerja tiap paginya. Tapi, saya tetap sangat bersyukur bisa merasakan liburan
di tengah hectic-nya pekerjaan.
Yang lebih menyenangkan lagi, penginapan kami menghadap langsung ke pantai. Jadi begitu buka pintu atau jendela, maka pemandangan pantai yang akan langsung menyambut. Pantai di Pulau Pramuka juga cukup bagus dengan air pantainya yang cukup bersih, pasir pantainya yang putih, dan tanaman bakaunya yang subur. Pemandangan yang indah setiap keluar dari kamar.
Tapi yang membuat saya benar-benar kapok karena sudah
berekspektasi rendah terhadap Kepulauan Seribu ini adalah saat di hari
berikutnya. Kami akan menghabiskan waktu dengan snorkeling dan island hopping
di Pulau Pasir dan Pulau Semak Daun. Memang, dua pulau ini belum pernah saya
datangi sebelumnya.
Sesampainya di Pulau Pasir, airnya yang kehijauan dan
pasirnya yang putih mengingatkan saya dengan Pulau Pasir Timbul di Raja Ampat!
Hampir persis, hanya jika di Raja Ampat ada latar pulau kecil di salah satu
sudutnya. Tapi, Pulau Pasir di Kepulauan Seribu ini pun sangat indah! Kami
langsung snorkeling di sekitarnya, tapi hanya sekedar pemanasan karena
snorkeling yang sebenarnya adalah tak jauh di Pulau Semak Daun. Para orang tua
langsung berlarian di pasir putih. Mereka sangat riang berlarian dan
berlompatan di pasir putih yang halus. Seperti Pasir Timbul di Raja Ampat, pada
waktu tertentu jika air laut sedang tinggi, pulau ini pun akan terendam air.
Puas bermain di Pulau Pasir, kami pun menuju titik snorkeling tak jauh dari Pulau Semak Daun. Mesin kapal dimatikan, snorkeling pun dimulai! Byurrr, saya pun langsung menceburkan diri ke laut. Terakhir kali snorkeling sekitar dua tahun lalu membuat saya benar-baner kangen pingin snorkeling melihat keindahan bawah laut lagi. Maka, saya snorkeling sepuas-puasnya sampai tenaga mulai habis, hahaha.
Snorkeling di Pulau Pasir.
Jelang jam makan siang, kami bertolak ke Pulau Semak Daun. Di sinilah semua kata-kata yang sempat menyepelakan pulau-pulau cantik ini harus saya tarik lagi. Pulau ini sangat indah dan sangat mirip dengan Pulau Wayag di Raja Ampat. Air birunya yang bersih, dermaganya, pasir pantainya yang putih, bahkan prosesi makan siang di bawah pohon rindang menghadap ke pantai pun sama.
Berlabuh di Pulau Semak Daun.
Ahh, menyesal karena sudah sok tahu. Padahal ternyata masih banyak tempat yang tak kalah cantiknya dengan yang sudah terbiasa diekspos. Ini membuat saya belajar tidak cepat berekspektasi, baik tinggi atau rendah pada suatu hal atau tempat sebelum melihatnya lebih dekat. Saya malah terpikir bahwa Kepulauan Seribu yang terdiri dari ratusan pulau ini menyimpan kecantikan luar biasa yang belum diketahui.
Deretan bakau muda di Pulau Semak Daun.
Saya pun jadi semangat jika suatu saat ada opentrip ke pulau-pulau terpencil lainnya di Kepulauan Seribu. Wanna join?
Tak sedikit orang yang menjadikan kopi sebagai bagian
penting kesehariannya. Baik diminum hangat atau dingin, masing-masing pencinta
kopi punya referensi dan seleranya sendiri. Di tengah hiruk pikuknya Kota
Jakarta, ada satu pojok ngopi yang sudah lama mencuri perhatian. Filosofi Kopi.
Bisa dibilang, Filosofi Kopi adalah cafe dengan konsep indutrialis, rustic, dan homey. Saya pribadi penyuka kopi meskipun jenis yang saya suka sangat mainstream seperti es cappuchino, es moccha, es coffeelatte, dan lainnya yang tidak begitu pahit.
Tampak depan Filosofi Kopi
Kadang, saat mengunjungi sebuah coffee shop, saya lebih tertarik dengan ambience dan konsep tempatnya. Saya sangat menyukai coffee shop tenang, dengam musik jazzy maupun pop yang tidak begitu gegap gempita, serta interior yang homey dan inspiratif.
Filosofi Kopi memang dikenal awalnya dari film Indonesia
berdasarkan novel kumpulan cerita pendek Dewi “Dee” Lestari dengan judul sama,
Filosofi Kopi. Film ini pun mendapat perhatian yang baik dari pencinta film
tanah air karena suguhan ceritanya yang baru dan segar, maupun teknik pengambilan
gambar yang sederhana tapi sangat artsy.
Setelah filmnya sukses menarik perhatian, coffe shop dengan nama sama pun hadir di
Jalan Melawai, kawasan Blok M, Jakarta. Tempat ngopi ini makin terkenal karena
memang ada sentuhan Chicco Jericho dan Ryo Dewanto di dalamnya. Dua sosok ini
merupakan pemeran utama di film Filosofi Kopi.
Foto Chicco dan Ryo.
Filosofi Kopi makin marak di social media kala seorang seniman lokal, Abenk, yang juga merupakan
suami dari influencer lifestyle dan
kecantikan Andra Alodita, memberikan sentuhan artsy ala Abenk di jendela-jendela kacanya. Tampaknya lukisan kaca
itu menjadi daya tarik tersendiri karena teman-teman saya pun banyak yang berlomba-lomba
ngopi di sana dan pos fotonya di socmed.
Sebagai penyuka kopi yang stay di Bandung, saya hanya bisa menikmati lewat socmed karena agak kurang worth rasanya pergi ke Jakarta hanya untuk
ngopi. Sedangkan kalau sambil dinas malah sering tidak cukup waktunya. Serba salah
ya, hahaha. Akhirnya saat ada waktu di Jakarta dan cukup santai kemarin, saya
menyempatkan diri ke sana.
Menemukan Filosofi Kopi cukup tricky karena lokasinya memang berada di wilayah perbelanjaan Blok
M dan agak nyempil. Kendaraan apapun
akan langsung dikenakan e-parking fare.
Jadi, kalau datang ke sini menggunakan transportasi online, pastikan ke driver-nya
kalau kalian akan membayarkan biaya parkirnya agar driver-nya tidak punya alasan menurunkan penumpang di pinggir jalan
padahal belum sampai tepat di depan Filosofi Kopi.
Saat saya sampai di depan Filosofi Kopi, jendela kaca
berlukisan ala Abenk itu sudah tidak ada. Memang, lukisan itu sudah ada hampir
dua tahun lalu. Mungkin manajemen Filosofi Kopi ingin mengganti suasana atau
ada pertimbangan lain.
Teras Filosofi Kopi
Tampak dari depan, Filosofi Kopi tidak terlalu besar. Saat sampai
di dalamnya pun, suasana homey dan
inspiratif kental terasa meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Saya memesan
Ice Cappuchino dan memilih duduk dekat dinding di meja bundar kayu. Setiap dinding
dipenuhi karya seni seperti lukisan, mural, dan foto. Tidak ada dinding yang
kosong percuma. Pun tidak ada yang asal penuh karena setiap goresan seperti
sudah dipertimbangkan baik-baik.
Logo Filosofi Kopi yang terkenalLukisan yang menarik
Yang paling saya suka adalah suasana tenangnya dan membuat ide mengalir lancar. Mungkin, hal ini karena yang mengunjungi Filosofi Kopi kebanyakan adalah anak-anak muda maupun orang dewasa yang datang sendiri atau berdua hanya untuk mengerjakan tugas atau hanya untuk ngopi sambil ngobrol santai. Jadi, tidak ada ribut atau berisik yang berarti.
Santai di Filosofi KopiNgobrol santai
Saya pribadi sangat senang ngopi dan duduk santai berlama-lama di Filosofi Kopi di Melawai, Jakarta ini. saya bisa menulis apapun yang terbersit di pikiran dengan santai.
Artsy dan inspiratif
Sayangnya, Filosofi Kopi baru ada di Jakarta, Semarang, dan Jakarta. Berharap semoga segera ada di Bandung dengan sentuhan artsy dan inspiratif yang sama seperti pionirnya di Melawai, Jakarta.
Buat beberapa orang,
masa liburan alias jalan-jalan yang paling penting adalah pengalamannya.
Tetapi, bagi orang-orang lainnya, traveling
adalah paket komplit yang harus berkesan secara keseluruhan, termasuk outfit alias pakaiannya. Buat saya, traveling adalah momen penting yang akan
saya kenang selamanya, jadi outfit
juga penting.
Penting di sini tidak berarti harus terlalu fokus memikirkan
pakaian apa yang harus dipakai sampai melupakan kesenangan utama untuk traveling. Bukan. Tapi penting dalam
artian harus sesuai dengan situasi, kondisi, dan nyaman untuk mendukung kita
dalam explorasi destinasi wisatanya, plus nilai estetika agar kenangannya
sempurna.
Apakah perlu budget khusus untuk outfit jalan-jalan? Tergantung. Jika destinasi wisata yang akan kita kunjungi memiliki musim atau cuaca yang jauh berbeda dari keseharian kita, tentu kita harus mengusahakan pakaian yang sesuai. Misalnya, seperti saat ke Korea baru-baru ini, di sana masih cenderung dingin yakni masih belasan derajat celsius bahkan mencapai di bawah 10° saat malam hari. Sebagai manusia tropis, tentu saya harus mengusahakan pakaian yang sesuai agar nyaman dan tetap sehat saat berada di sana.
Karena selama ini
tidak pernah berkunjung ke negara empat musim, alhasil saya harus membeli coat alias outer hangat. Terpikir untuk meminjam saja ke teman, tapi saya
berpikir setidaknya saya harus punya satu sebagai motivasi agar bisa sering traveling ke negara empat musim lainnya.
Amin.
Jadi, secara ringkas,
saya akan sharing tentang outfit yang saya pakai saat traveling ke Korea baru-baru ini. Ini
hanya sekadar sharing berdasarkan
pengalaman pribadi saya, jadi semoga dapat menjadi referensi atau masukan ya.
Tidak harus diikuti, jadi pilih yang paling sesuai dengan kebutuhan
masing-masing ya.
Penting tidk berarti harus terlalul fokus memikirkan pakaian
apa yang harus dipakai sampai melupakan kesenangan utama untuk traveling. Bukan.
Tapi penting dalam artian harus sesuai dengan situasi, kondisi, nyaman untuk
mendukung kita dalam explorasi destinasi wisatanya, plus nilai estetika juga
penting biar kenangannya sempurna.
Apakah perlu budget
khsusus untuk outfit jalan-jalan? Tergantung. Jika destinasi wisata yang akan
kita kunjungi memiliki musim atau cuaca yang jauh berbeda dari keseharian kita,
tentu kita harus mengusahakan pakaian yang sesuai dengan destinasi wisata.
Misalnya, seperti saat ke Korea baru-baru ini. Di sana masih cenderung dingin
yakni masih belasan derajat celsius bahkan mencapai di bawah 10° saat malam hari. Sebagai manusia tropis,
tentu saya harus mengusahakan pakaian yang sesuai agar nyaman dan tetap sehat
saat berada di sana.
Karena selama ini
tidak pernah berkunjung ke negara empat musim, alhasil saya harus membeli coat
alias outer hangat. Terpikir untuk meminjam saja ke teman, tapi saya berpikir
setidaknya saya harus punya satu sebagai motivasi agar bisa sering traveling ke
negara empat musim. Amin.
Jadi, secara ringkas,
saya akan sharing tentang outfit yang saya pakai saat traveling ke Korea
baru-baru ini. Ini hanya sekadar sharing berdasarkan pengalaman pribadi saya,
jadi saya harap dapat menjadi referensi atau masukan ya. Tidak harus diikuti,
jadi pilih yang paling sesuai dengan kebutuhan masing-masing ya.
Let’s dig in!
Outfit yang nyaman akan membuat jalan-jalan makin berkesan.
Heattech
Sebagai
manusia tropis, udara dingin yang tidak bisa diprediksi bisa saja memberikan “shock therapy” bagi tubuh kita. Karena
cuaca atau suhu direspons berbeda oleh setiap tubuh maka sebagai antisipasi
bawalah heattech baik untuk atasan maupun bawahan. Heattech ini berfungsi
menghangatkan tubuh. Bahannya lembut dan elastis, mirip seperti legging untuk bawahan atau manset untuk
atasan. Khusus atasan, ada juga yang jenis turtle
neck. Bahannya pun beragam, sesuaikan saja dengan kebutuhan.
Gunakan heattech setelah memakai dalaman alias sebelum memakai outfit yang sebenarnya (memangnya ada outift tidak sebenarnya? Hahaha). Sejujurnya, saya juga pertama kali membeli heattech saat akan berangkat ke Korea. Saya pilih heattech dari Uniqlo karena selain mudah mendapatkannya, berdasarkan review yang saya baca, kualitas Uniqlo juga sudah teruji.
Model turtle neck, pic: Uniqlo.Warna berbeda agar tidak monoton, pic: Uniqlo.Untuk bawahan agar kaki tetap hangat, pic: Uniqlo.
Sweater Aneka Warna
Sweater
atau baju lengan panjang hangat cukup multifungsi karena selain menghangatkan
badan, warna-warnanya juga bisa memberikan style
yang berbeda saat kita jalan-jalan. Uniknya, sweater bisa kita padupadankan dengan coat, jaket, blazer, dan
selalu cocok dengan berbagai bawahan, baik itu jeans atau celana bahan biasa.
Untuk jumlah sweater sesuaikan saja
dengan berapa lama trip yang akan
dilakukan. Untuk menghemat bagasi, satu sweater
dapat dipakai dua hari, tinggal disiasati aja. Misalnya, hari pertama hanya sweater saja, hari selanjutnya dengan coat atau blazer.
Sweater sangat mudah ditemukan di berbagai pusat perbelanjaan atau toko pakaian yang memang khusus menjual baju musim dingin atau pakaian yang terbuat dari bahan rajutan. Saya membeli sweater-sweater saya di MKY, toko pakaian yang menjual baju-baju perempuan bergaya Korea. Jadi, pas banget kan?
Pilihlah sweater warna cerah dan kontras.Sweater bisa dipadupadankan dengan celana panjang maupun jeans.Jangan lupa pilih warna favorit, seperti saya warna pink.
Coat
Coat
atau jaket hangat juga sangat penting apalagi jika kita belum pernah berkunjung
ke negara empat musim dan di saat masa-masa peralihan musim. Bahkan ada
beberapa negara yang cuacanya sangat tidak terprediksi. Jadi, akan lebih nyaman
kalau kita cukup prepare dan berjaga-jaga. Bisa saja sih dengan opsi membeli di
negara tujuan sesuai apa yang dibutuhkan. Tapi, bagi saya pribadi, membawa
sendiri dari rumah akan lebih nyaman dan tentunya lebih hemat.
Coat
sendiri bermacam-macam, ada yang extra hangat terbuat dari bulu angsa atau
bulu-bulu hewan lainnya. Ada yang medium alias hangat tapi tidak terlalu tebal.
Ada yang cukup hangat dan bahannya ringan dan tipis. Kalau saya, saat ke Korea
menggunakan yang medium karena cuaca di sana saat itu sudah mulai hangat. Coat
cokelat muda ini saya beli di H&M.
Coat membuat badan hangat dan tetap stylish.
Blazer
Karena
bulan Mei cuaca di Korea mulai hangat, maka saya pun membawa sebuah blazer
untuk dipadu-padankan dengan sweater dan kaos. Blazer juga multifungsi karena
bisa membuat badan hangat sekaligus stylish. Saya pribadi ingin memakai blazer
karena teracuni gadis-gadis dalam drama Korea yang gemar sekali memakai blazer
dalam kesehariannya. Jadi, saya juga ingin mencoba bergaya ala gadis-gadis
Korea di negaranya langsung.
Blazer
pun bermacam-macam lho! Ada yang lengannya panjang, ada yang 7/8. Panjang
blazer pun ada yang sampai ke paha, ada yang cuma sampai pinggul. Untuk blazer
pink ini, saya beli di Bershka karena selain bahannya enak, kualitasnya bagus,
juga banyak pilihan model yang bisa kita sesuaikan dengan bentuk dan tinggi
badan kita.
Blazer multifungsi, hangat sekaligus stylish ala gadis-gadis Korea.Blazer pun cocok untuk sweater.
Kaos
Kaos
adalah pakaian wajib saat traveling. Selain nyaman, kaos juga ringkas. Bawalah
beberapa kaos yang harus tetap disesuaikan dengan cuaca yang ada. Utamakan yang
tidak tipis, karena meskipun Korea mulai hangat, anginnya tetap kencang lho!
Kaos yang nyaman dan warna netral sangat mudah dipadupadankan.
Jeans
Buat
saya pribadi, jeans cukup multifungsi karena bisa memberikan style yang berbeda
dengan hanya menambah aksen. Misalnya, jeans bisa dipakai panjang atau diberi
lipatan di bawahnya sehingga seperti celana gantung atau 7/8. Sudah beberapa
tahun, saya selalu memakai jeans dari Giordani, karena bahannya enak,
kualitasnya tahan lama, dan cukup tebal.
Jeans memang paling cocok dengan cuaca cerah.
Celana Panjang Hitam
Kenapa
saya tekankan warna hitam? Karena warna netral ini bisa dipadu-padankan dengan
berbagai bentuk atasan dan seluruh warna. Jadi, akan sangat menghemat bawaan
kita karena tidak perlu membawa banyak bawahan atau celana. Selain itu, celana
panjang non-jeans sangat penting jika kita banyak berjalan dan mendaki karena
akan membuat badan tetap nyaman. Sedangkan jeans, kadang lebih ketat atau kaku
sehingga saat mendaki kadang memberikan kesan kurang leluasa bagi kita. Celana
panjang saya ini pun saya beli di Giordani karena kualitasnya bagus, bahannya
enak, tidak gampang lusuh, dan tidak luntur.
Celana panjang nyaman saat mendaki.
Kupluk atau Topi Hangat
Saat
malam hari, Kota Seoul sangat dingin dan berangin, jadi saya sarankan untuk
membawa topi hangat atau kupluk untuk melindungi kepala dari angin dan
menjaganya tetap hangat.
Kupluk hangat yang juga stylish.
Nah, itulah outfit yang saya pakai selama lima hari liburan di Korea kemarin. Beberapa outfit memang saya beli baru karena belum punya sebelumnya. Yang paling utama adalah jaga kesehatan dan nikmati masa-masa liburan untuk mendapatkan pengalaman yang berkesan sebanyak-banyaknya. Selamat liburan!
Kalau ada yang bertanya kepada saya, “Negara mana yang menjadi impianmu sejak kecil?” Maka saya akan menjawabnya dengan, “Jepang”. Ini karena berbagai hal tentang negara ini yang pertama kali menerpa saya. Anime dan manga yang berhasil membuat saya tergila-gila dengan negara Jepang. Saya bahkan bisa mengatakan kalau saya punya obsesi tersendiri terhadap negara ini (akan saya ulas di tulisan berbeda nantinya). Tapi, beranjak dewasa, ada negara lain yang menjadi salah satu impian saya, Korea Selatan.
Here i am, at Seoul City, Korea.
Girls Generation-lah yang cari gara-gara sehingga membuat saya mulai terobsesi dengan Halyu Wave. Tapi Janggeum dan Princess Hour adalah “kontak pertama” saya dengan budaya pop Negeri Ginseng ini. Oh tentu, saat pertama kali terpapar hal-hal terkait Korea Selatan sekitar tahun 2005/2006 itu, saya belum tahu istilah itu.
Saya pun mulai paham istilah ini setelah makin terobsesi dengan berbagai variety show dan musik K-Pop yang menjadi salah satu senjata andalan Korea Selatan dalam mempromosikan negaranya. Halyu Wave atau Gelombang Korea adalah fenomena yang membuat segala hal yang berbau Korea menjadi mendunia dan orang-orang menjadi gandrung bahkan mulai mengikutinya. Drama Korea dan musik K-Pop dipercaya mengambil andil yang paling besar dalam menyebarkan Halyu Wave ke seluruh dunia. Disusul dengan makin maraknya variety show Korea yang ternyata memikat hati penonton dari seluruh dunia. Selanjutnya makanan, fashion, bahkan perawatan kecantikan memperkuat gelombang Halyu sampai dikenal istilah Korean Beauty. Akibatnya, rasa ingin tahu masyarakat dunia akan negara Korea semakin tinggi.
Tak terkecuali saya. Saya makin gandrung nonton bahkan download video girlband dan boyband favorit saya. Saya juga mulai mengikuti fashion bahkan gaya make up gadis-gadis Korea. Namun, hingga akhir 2011, saya belum bisa mengikuti terlalu jauh karena belum punya penghasilan sendiri. Tak etis rasanya memakai uang saku dari orang tua untuk hal-hal yang bukan kebutuhan penting. Meskipun cukup sering kecolongan dengan beli baju dengan style Korea juga (Bapak dan Mama, maafkeun daku). Untuk hal ini perlu menyalahkan sahabat saya sesama pencinta Korea, yakni Imelda Maurike Siahaan. Dialah partner in crime saya dan yang paling nyambung tentang segala hal, khususnya per-Korea-an ini.
Punya penghasilan sendiri, saya pun mulai berani bermimpi agar suatu saat nanti bisa mengunjungi Korea Selatan. Saya bisa saja berangkat di beberapa kesempatan, tapi berbagai kondisi menghambat sehingga akhirnya impian itu baru bisa tercapai setelah sepuluh tahun sejak saya benar-benar jadi pencinta Korea pada tahun 2009. Yang paling ikonik bagi saya tak lain adalah Namsan Seoul Tower atau N Seoul Tower. Menara ini sering ditampilkan dalam berbagai drama dan variety show, apalagi tentang gembok-gembok cinta yang jumlahnya tak terhitung di N Seoul Tower ini. Bahkan, badan wisata milik pemerintah Korea dengan gerakan I Seoul You menjadikan menara ini sebagai salah satu ikon dari Kota Seoul, Korea.
Namsan Seoul Tower
Maka, setelah awal Mei 2019 kemarin, saya akhirnya
mewujudkan impian saya untuk menjejakkan kaki di negerinya Yoona dkk ini. Plus fakta
bahwa seluruh perjalanan ini gratis dan saya hanya memikirkan uang jajan
pribadi membuat perjalanan ini menjadi perjalanan luar negeri terbaik yang
pernah saya alami. Hahaha, ya saya baru pernah ke Jepang dan Thailand saja
sebelumnya, jadi belum banyak pengalaman juga sebenarnya.
Iya, saya beruntung dan saya tak henti mengucapkan syukur kepada Tuhan atas berkatnya ini. Saya berhasil menjadi salah satu pemenang lomba menulis tentang traveling di salah satu platform berita online terbesar di Indonesia yakni Detik.com lewat kanal wisatanya DetikTravel, dengan sponsornya yakni perusahaan e-commerce raksasa Indonesia, Tiket.com. Big thanks, thank you so much, gomawo yo!
Sebenarnya saya ragu untuk menuliskan perjalanan ke Korea Selatan karena pasti sudah banyak review dari blogger-blogger lain di internet. Apalagi, wisata ke Korea sudah digemari sejak tahun 2012 saat makin banyak musisi K-Pop yang bermunculan dan variety show seperti Running Man yang memperkenalkan banyak tempat-tempat menarik di seluruh Korea Selatan. Tapi, saya kemudian memutuskan untuk tetap menuliskannya berdasarkan cerita pribadi sebagai seorang K-Poper yang akhirnya berhasil mewujudkan impiannya, bahkan secara gratis pula!
Karena perjalanan ini sudah di-arrange oleh tim penyelenggara, jadi saya tinggal mengikuti trip yang sudah ditentukan, termasuk tempat-tempat wisatanya. Tapi, saat pertama kali tahu bahwa N Seoul Tower menjadi salah satu destinasinya, maka saya sudah sangat bahagia. Sebenarnya tower ini menjadi semacam destinasi wajib bagi hampir seluruh agen travel yang membuka perjalanan ke Korea Selatan. Ya, ibaratnya kalau turis asing pertama kalinya ke Jakarta pasti direkomendasi ke Monas dulu sebagai ikonnya Jakarta. Begitulah kira-kira.
Yang membuat saya semangat ke N Seoul Tower bukan gembok-gembok cinta karena jujur saya tidak memasangnya sekali (ahh, bilang aja karena Kakak jomblo, ya kan?). Jadi, selain karena ini memang ikon Kota Seoul, yang membuat saya semangat ke N Seoul Tower ini adalah karena kami akan diberikan keleluasaan hampir sekitar 1 jam meng-explore sendiri tower ini. Karena trip-nya sudah diatur, jadi jadwal cukup ketat dan kami jarang punya waktu personal untuk menjelajahi tempat wisatanya, sepanjang hari selalu serombongan. Sangat menyenangkan bisa segrup dengan orang-orang hebat dan menyenangkan, tapi entah kenapa ada momen saat saya ingin menikmati sejenak saja detik-detik berada di Korea Selatan tanpa hectic harus foto di sana-sini. Saya ingin benar-benar hanya diam, memandangi apa yang ada di depan saya, meresapi tiap suasana, mendengar bahasa-bahasa, dan menghargai setiap detiknya sebagai suatu pengalaman yang berharga.
Namsan Tower dengan latar matahari senja.Jalan yang sedikit mendaki ke Namsan Tower.
Jadi, setelah sampai di parkir, Namsan Tower sudah menyambut dengan berdiri gagah menjulang. Ternyata kami harus berjalan menuju bangunan Namsan Tower. Tak jauh dan justru sangat menyenangkan karena bisa melihat berbagai bunga cantik yang ditanam dan sangat terawat di sepanjang jalan. Ada bunga tulip juga. Ini kali kedua bagi saya melihat bunga tulip secara langsung, setelah pertama kali di Jepang.
Ini bukan bunga sakura, tapi sangat cantik untuk mengobati rasa kangen.Si cantik bunga tulip yang tumbuh di sepanjang jalan menuju Namsan Tower.
Namsan Tower ini merupakan menara pemancar yang masih aktif
hingga saat ini. Saat pertama sampai di halaman depannya, kita akan melihat
patung-patung panda dan babi di halamannya. Ini cukup menarik, khususnya bagi
anak-anak. Setelah melewati pintu masuk, akan tercium wangi khas kopi karena
ada Starbucks di dekat pintu masuknya. Untuk masuk ke Namsan Tower, pengunjung
harus membeli karcis sebsar 10.000 Won atau sekitar 120.000 rupiah.
Tampak depan pintu masuk plaza sebelum naik ke menaranya.Anak-anak pasti betah main di sini.
Uniknya, ada lorong-lorong LED yang menyala indah saat akan menaiki lift menuju menara pandang Namsan Tower. Saat berada dalam lift pun akan diputar video interaktif yang membuat pengunjung yang naik lift seolah-olah sedang terbang menuju luar angkasa.
Seolah-olah kita berada dalam warp lompatan antar galaksi seperti di film Star Trek.
Sesampainya di menara pandang, saya cukup kaget. Tempat ini
sangat ramai dengan turis dari berbagai belahan dunia. Bisa dibilang, berbagai
orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Di menara pandang ini, seluruh
dindingnya merupakan kaca sehingga pengunjung disuguhkan 360◦ pemandangan Kota Seoul. Di setiap
kaca pun ditempeli stiker berupa bendera dan nama ibukota negara serta jarak
tempuhnya dari Kota Seoul. Saat ini kami semua berpencar untuk menikmati Namsan
Tower. Saya pun langsung menikmati senja itu dengan berkeliling pelan-pelan.
Menikmati senja dengan memandang horison.Pemandangan Kota Seoul dari menara pandang. Indah: modern tapi asri.
Perlahan, saya membaca hampir setiap dinding. Saya jadi tahu jarak Kota London dengan Seoul sejauh 8.954 km. Kenapa London? Karena ini merupakan salah satu kota impian yang ingin saya kunjungi juga suatu saat nanti, amin.
Saya pun berjalan perlahan, membaca setiap stiker. Saya mulai mencari-cari, satu tulisan dan bendera yang sepertinya mulai saya rindukan. Setelah berjalan, akhirnya saya menemukannya. Stiker merah-putih dengan tulisan “Jakarta” di sampingnya, lengkap dengan jaraknya 5.128,98 km. Sejauh itulah saya dengan ibukota negeri tercinta. Saya memutuskan hanya berdiri dan memandang jauh menikmati suasana tenang di tengah keramaian Namsan Tower, merasakan hangat senja sore. Saya bersyukur, saya sudah sejauh ini mencapai salah satu impian saya.
Biarpun saya pergi jauh, tidak ‘kan hilang dari kalbu, tanahku yang kucintai. Indonesia.
Tiba-tiba, saya teringat impian lainnya, saya pun mencari dan menemukannya. Auckland, kota lainnya yang semoga akan saya kunjungi suatu saat nanti. Saya berdiri menghadap ke arah Auckland, melihat hingga ke horison. Membayangkan seperti apa Auckland itu. Di antara pemanangan gedung-gedung pencakar langit Seoul itu, mata saya tertuju pada titik horison dimana Auckland ada di sana sejauh 9.494,83 km dari Seoul. Saya pun meresapi setiap momen itu, menikmati tiap pandangan dan “moment of truth” antara saya, bumi, dan impian-impian saya. Jarak secara fisik memang sangat jauh, tapi jarak saya dengan impian itu hanya sejauh doa dan kerja keras. Saya hanya harus lebih giat berdoa dan berusaha.
Living my dream. Amen.
Wangi kopi menusuk hidung dan membuyarkan lamunan senja itu. Ya, ternyata saya baru menyadari ada cafe di lantai yang sama, bahkan saya baru melihat di sekeliling banyak yang menikmati pemanadangan indah ini sambil menyeruput kopi dan duduk santai. Tapi, meja-meja yang disediakan sudah dipenuhi pengunjung saking ramainya. Lagi pula, saya juga harus bergegas karena masih ingin menikmati sisi lainnya. Salah satunya, teras yang berisi penuh gembok-gembok cinta itu.
Sebanyak itu, bahkan yang bertahun-tahun tergantung hingga berkarat pun ada.Ada nama yang familiar?
Sisa perjalanan di Namsan Tower saya habiskan dengan meng-explore sudut teras dan halamannya. Ternyata ada beberapa titik yang dipenuhi gembok yang digantung pengunjung dari berbagai negara di dunia ini. Tak terkecuali Indonesia, karena banyak sekali gembok bertuliskan nama khas Indonesia di sana.
Di Namsan Tower tanpa menggantung gembok ternyata tidak apa-apa. HahahaPercayalah, kursi ini merosot bukan karena bobot saya sejak makan banyak di Korea.
Setelah itu, saya berkumpul bersama teman trip dan kami
memutuskan untuk membeli churos. Hanya tersisa original karena yang rasa
cokelat sudah sold out. Dan rasa churosnya cukup berbeda dengan yang biasa ada
di Indonesia. Ya, masyarakat Korea tidak terlalu terbiasa dengan makanan serba
manis dan penambah rasa lainnya. Mereka sangat memperhatikan aspek kesehatan,
terutama dalam makanan.
Menikmati sisa senja di teras Namsan Tower.Everywhere in here is about love. Ehem.Gerai-gerai street food dan cinderamata.
Setelah sunset, kami beranjak meninggalkan Namsan Tower. Meskipun
aktivitas ini sangat mainstream bagi turis yang datang ke Korea, tapi saat-saat
di menara pandang Namsan Tower ini adalah salah satu momen terbaik yang bisa
saya kenang saat trip Korea ini. Moment of truth, saat saya kembali disapa
dengan manis impian dan kenyataan betapa indah dan luasnya bumi ini. Ada impian
yang sepadan di sana. Ada impian yang harus terus diperjuangkan. Dan menara
pandang ini kembali memelukku dengan momen itu.