Hanyut Bersama Pusakata di Bandung Readers Festival 2019

Sebelum hilang ingatan tentang salah satu event yang paling berkesan yang telah didatangi tahun ini, saya akan menceritakannya sedetail mungkin. Pernah baca kan sebelumnya kalau menghadiri festival ataupun workshop adalah hal yang cukup saya senangi? Awal bulan September ini, untuk pertama kalinya saya menghadiri festival literasi. Saya sudah tahu tentang Ubud Writers Festival, yakni event yang mempertemukan para penulis baik yang muda maupun senior, baik yang sudah profesional maupun sedang awal merintis untuk membicarakan berbagai hal baik tentang perkembangan maupun karya-karya dalam bidang penulisan sastra.

Bandung Readers Festival 2019 berlatar Gedung Sate.

Saya, seperti biasanya selalu menghayal, berharap suatu saat bisa mengikuti ajang yang sudah cukup lama diadakan dan kelasnya sudah internasional. Bukannya sok (saya akui bahkan saya bukan penulis sastra, menulis pun masih seadanya, hahaha) tapi saya senang mendengarkan orang-orang yang inspiratif dan penuh ide, karena hal itu secara tak langsung memberikan dampak positif bagi saya. Apalagi, saya cukup menyukai dunia literasi baik menulis maupun membaca.

Nah, mumpung acaranya sedang di kota tercinta, Bandung, maka saya tak menyianyiakannya. Full acaranya dilaksanakan pada 4-8 September 2019. Tapi karena kerja saat weekday, maka saya hanya bisa mengikuti acaranya sejak Jumat, 6 September sore hingga hari Minggunya. Meskipun tidak mengikuti acaranya sejak awal, beruntungnya Bandung Readers Festival (BRF) menyediakan berbagai dokumentasi yang bagus dan kreatif. Bahkan, untuk pertama kalinya saya tahu ada istilah graphic recording karena mengikuti event ini.

Sesi pertama yang saya ikuti.

Graphic recording merupakan suatu bentuk dokumentasi atau notulensi yang mencatat jalannya suatu acara atau diskusi dalam bentuk grafis baik tulisan maupun gambar dan tanda-tanda panah. Sekilas sperti flow chart. Para graphic recorder (sebutan bagi yang membuat recordingnya) harus menyimak setiap jalannya acara atau diskusi sambil membuat gambar dan tulisan mengenai inti informasi yang sedang disampaikan.

Graphic Recorder karya Mba Riri

Ada dua graphic recorder yang saya saksikan selama event ini dari Visualogic.gr yakni Kang Imawan dan Mba Riri. Hasil gambar mereka sangat bagus dan informatif. Saya agak terpecut karena sejujurnya sejak kecil, menggambar adalah salah satu hal yang biasa saya lakukan. Namun, sejak masuk asrama, hal itu harus saya tinggalkan karena waktu dan pikiran saya terpaksa harus fokus ke palajaran akademik yang cukup banyak. Hal ini cukup saya sesali, sih huhuhu. Pesan morilnya, bagi kalian yang dari kecil sudah memiliki hobi dan bakat di satu bidang, tekadkan hati dan kembangkan dengan serius setiap hari.

Kang Imawan sedang melakukan graphic recording.

Jangan takut apakah nantinya akan dapat penghasilan dari bidang tersebut atau tidak. Percayalah, saat kita benar-benar mencintai dan sungguh-sungguh dalam bidang tersebut, ada saja rezeki yang datang. Seringnya, yang menjadi persoalan beratnya adalah kita terlalu memikirkan bagaimana pandangan dan penilaian orang lain akan hidup kita, terutama hal yang kita lakukan untuk mendapatkan uang. Tapi sesungguhnya, yang paling penting adalah pekerjaan itu halal dan kita content selama melakukannya setiap hari.

Kembali ke laptop, eh ke BRF! Jadi ada beberapa sesi yang sempat saya ikuti. Dalam lima hari pelaksanaan, setiap harinya ada beberapa sesi dengan narasumber-narasumber yang sangat mumpuni sesuai bidangnya. Untuk fokus dan menghemat energi agar lebih efektf, saya memilih beberapa sesi dengan narasumber yang memang saya tahu dan ikuti di instragram. Jadi ada tiga sesi utama yang jadi prioritas untuk saya ikuti. Apalagi sesi-sesi ini dilaksanakan di beberapa tempat yang berbeda. Seperti di Abraham & Smith, Nu Art Gallery, Museum Gedung Sate, Rumah The Panasdalam, dan IF.

Halaman Gedung Sate yang cerah di sesi kedua yang saya ikuti.

Pertama sesi Dinamika Ngeblog bersama Nike Prima dan Bandung Diary. Dua narasumber ini sudah cukup saya tahu bia instagram. Content keduanya sangat berbeda tapi kuat. Jadi, saya sangat semangat untuk dapat mendengarkan dan belajar dari kedua narasumber ini. alhasil, selama hampir dua jam sesi, saya sangat senang dan pulang membawa banyak ilmu baru. Senangnya lagi, Teh Anggi Bonyta yang menjadi moderator membawakan dua sesi ini dengan sangat menyenangkan dan informatif.

Nike Prima dari Loving Living.

Satu-dua hal yang bisa saya bagikan dari apa yang mereka sampaikan adalah: yang penting terus menulis tanpa memikirkan akankah nanti tulisan kita akan memiliki penggemar atau tidak. Tulislah hal-hal yang menarik sesuai dengan apa yang menjadi ketertarikan kita karena akan sangat berbeda hasilnya dengan menuliskan hal-hal yang tidak begitu kita sukai. Selain itu, manfaatkan berbagai media sosial yang ada saat ini untuk bisa menyebarkan bahkan mempromosikan tulisan-tulisan kita.

Sesi kedua yang saya ikuti adalah Modus Penyebaran Teks karena salah satu narasumbernya adalah Lala Bohang. Dia seorang ilustrator sekaligus penulis yang sudah menghasilkan beberapa buku. Dia bahkan sering melakukan pameran di berbagai kota di Indonesia. Sesi yang hampir dua jam ini pun juga menarik dan penuh informasi baru. Salah satu hal yang paling saya ingat dari Lala Bohang adalah bahwa proses kreatif yang paling penting ada di dalam diri kita sendiri. Bukan terkait dengan selera pembaca, tidak terkait sistem algoritma social media, tapi di dalam diri kita. Selama kita content, maka karya yang kita hasilkan jujur dan nantinya akan menemukan penggemarnya sendiri atau bahkan penggemar itu yang akan menemukan tulisan kita.

Sesi kedua, ada Lala Bohang di sana.

Selama acara BRF berlangsung, banyak workshop yang dilaksanakan, tapi karena faktor waktu, saya tidak ikut workshop apapun. Tapi saya tertarik dengan salah satu activity di BRF yakni donasi buku anak di Lemari Bukubuku. Uniknya, setiap donatur buku akan dibuatkan gambar ilustrasi wajah. Saya mendonasikan graphic novel favorit saya, Chicken Soup. Ini adalah salah satu novel grafis yang inspiratif dan sarat pesan positif. Berharap agar anak-anak yang mendapatkan donasi ini bisa belajar banyak dari buku ini. Saya pun dibuat gambar ilustrasi oleh Mas Faisal dari Lemari Bukubuku. Hasilnya, saya langsung suka dan gambar ini jadi foto profil di berbagai social media, haha. Makasih, Mas!

Selain itu, ada bazar buku dan banyak buku-buku indie atau lokal yang dijual selama acara ini. Saya  pun beli satu buku yang sudah dicari-cari di Gramedia manapun di Bandung dan sudah kosong. Eh, ketemunya di bazar BRF ini. Buku apa dan apa yang membuat saya ingin sekali membacanya, akan saya ulas di postingan yang akan datang ya. Stay tuned! Cailaaah.

Puncak dari acara ini yakni talskhow dan performance dari Pusakata. Penyuka musik indie dan folk pasti familiar sekali dengan Mas Is yang sekarang mengusung nama panggung Pusakata. Seperti yang kita tahu, Mas Is adalah mantan vokalis sekaligus pembentuk Payung Teduh, band indie dengan musikalitasnya yang khas. Tak ingin mengulas tentang kenapa keluar dan meninggalkan Payung Teduh, saya lebih tertarik mengulas makna dan pesan yang saya dapat selama dua jam performance Pusakata.

Pusakata bersenandung.

Mas Is sendiri sangat hobi membaca berbagai jenis buku. Dia juga cerita, dulu sempat gandrung main teater. Makanya tak heran ya, kata-kata dalam lagunya sangat kaya dan indah. Kadang bermajas, kadang hanya kata biasa tapi dirangkaikan dengan pilihan padanan kata yang pas. Yang dituliskan pun tak melulu tentang cinta dua insan. Ia juga bercerita bahwa ada lagu-lagu yang menceritakan hubungan dengan Tuhan.

Mas Is Pusakata.

Mas Is berpesan, kita jangan egois dan mengeksklusifkan diri. Jangan egois dalam berkarya. Karena seni itu hakikatnya sebagai wujud syukur kepada Tuhan dengan cara mengekspresikannya, baik melalui tulisan, lagu, musik, dan seni lainnya.

Yang paling menyenangkan adalah, semua lagu-lagu yang dibawakan Pusakata baik yang terdahulu sampai yang terbaru dibawakan dengan gubahan baru. Bahkan lagu-lagu yang dulu sering kita dengar setiap harinya dibawakan dengan musik yang lebih segar dan menghanyutkan. Meskipun tak ada tangan hangat dalam genggaman, lagu Pusakata sudah sangat menghangatkan perasaan, ciaaaaa!

Panggung kecil namun syahdu.

Tanya-jawab berlangsung akrab dan fun. Bahkan Mas Is mengakui bahwa performance kecil dan intim begini lebih menyenangkan baginya. Penonton alias para pengunjung BRF pun semua serba kalem dan santai. Pastinnya tetap bernyanyi bersama, tapi tidak ada yang teriak-teriak atau bahkan rebut-rebutan saat Mas Is melemparkan pick untuk beberapa penonton. Oh ya, saat melemparkan pick terakhir, Mas Is melirik ke saya dan melemparkannya dengan santai. Alhasil pick itu jatuh di depanku. Mas-mas yang duduk di sampingku melihat santai dan tidak berusaha merebutnya. Wah, beda sekali ya penonton yang terliterasi dengan yang masih kurang, hahaha, peace! Sejak datang ke BRF, saya jadi semangat untuk datang ke berbagai festival lainnya.

Duarrr!!!

Published by Feni Saragih

Everywhere is my study field, everywhere is worth to walk.

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: