Waktu masih kecil dulu, ada sebuah acara di salah satu TV swasta nasional berjudul Anak Seribu Pulau. Alunan lagu Negeri di Awan yang dibawakan Katon Bagaskara selalu berhasil menyita perhatian dan pandangan saya. Saya menyaksikan di TV tabung dengan warna seadanya saat itu secene demi scene. Mulai dari anak-anak yang berlarian di padang rumput nan luas (yang belasan tahun kemudian saya sadari sebagao Tanah Sumba), anak-anak yang berenang dengan tawa riang di birunya laut nan jernih (yang di kemudian hari saya pahami sebagai Labuan Bajo, Flores), anak-anak yang berlarian di pasir hitam yang seperti tak ada habisnya (yang akhirnya saya kenal sebagai Bromo), dan masih banyak scene lainnya yang indah, yang kalau sekarang saya ingat membuat saya menangis karena ternyata sejak kecil saya memang sudah berhasrat untuk traveling di tanah Indonesia yang indah.
Namun, yang paling memikat adalah setiap Katon menyanyikan lirik “sebuah lagu tentang negeri di awan”, bagi seorang anak yang baru masuk sekolah, kalimat dan lirik itu serasa magis buat saya. Imajinasi saya saat itu menyajikan bahwa memang ada tanah di Indonesia yang sangat tinggi bahkan anak-anak di sana bisa menggapai awan setiap hari. Jika saya dan teman-teman bermain tali dan berlari di lapangan rumput, saat itu yang saya pikirkan bahwa beruntung sekali anak-anak Negeri di Atas Awan itu bisa merengkuh putih dan magisnya awan setiap saat mereka mau. Ya, begitulah imajinasi saya pada masanya. (Imajinasi yang sangat saya cintai, karena saat ini saya menyadari bahwa masa kecil saya penuh dengan kenangan indah, terutama tentang bahagianya anak-anak di Indonesia).

Aduh, saya tak bisa untuk tidak menyanyikan lirik lagu yang indah itu. (meskipun suara saya pas-pasan, huhuhu).
Setelah mata pelajaran Geografi memperkenalkan saya dengan istilah-istilah kontur bumi seperti dataran tinggi, dataran rendah, pegunungan, pantai, kepualauan, maka saya pun bertemu dengan sebuah nama yang saat mendengarnya pun terasa magis.
Dieng. Kala itu Guru Geografi juga menyebutkan bahwa dataran tinggi di Jawa Tengah ini kerap dijuluki sebagai Negeri di Atas Awan karena kawasan terendahnya pun berada di ketinggian lebih dari 2.000 MDPL (meter di atas permukaan laut). Saya langsung mekhayal kala itu. Suasana yang sejuk, pepohonan pinus, kabut, bukit-bukit, dan awan. Terhenyak, saya langsung teringat lagu Katon Bagaskara, Negeri di Awan. Saya pun penasaran saat itu, apa Dieng ini yang Katon maksudkan sebagai negeri di atas awan itu?

Selang dua puluh tahun kemudian, saya tak menyangka akhirnya bisa menginjakkan kaki di negeri yang dulu selalu saya imajinasikan. Berawal dari tekad ingin mengunjungi tempat baru yang seumur hidup belum saya datangi, akhirnya saya bertemu dengan Sang Negeri di Atas Awan, Dieng. Bermodalkan keberanian ingin mulai mendaki gunung, saya akhirnya bergabung dengan open trip (yang anggotanya kemudian menjadi bagian penting dalam hidup saya karena merekalah teman perjalanan saya untuk menjelajahi pelosok Indonesia).
Karena perjalanan dilakukan dalam weekend biasa, maka hanya beberapa lokasi saja yang akan kami datangi dengan tujuan utama yakni Gunung Prau. Saat pertama kali sampai di Dieng, hawa dingin langsung terasa. Saat tiba di homestay yang akan kami tumpangi, saya melihat para kaum ibu dengan kulit wajah kemerahan, ciri khas kulit bagi yang tinggal di dekat gunung atau dataran tinggi. Mereka juga memiliki fisik yang kuat karena mereka tampak santai memanggul bakul-bakul besar sambil mendaki. Mata saya langsung bersinar dan berkaca-kaca, betapa saya mengagumi kekuatan mereka (sementara saya masih lemah, mau mendaki saja harus benar-benar percaya diri kalau jogging saya sudah cukup. Kalau masih ada keraguan, saya tidak akan berani mendaki, karena selain membahayakan diri sendiri, saya juga tidak ingin menjadi beban bagi rekan perjalanan saya).
Telaga Warna. Ini adalah titik pertama yang kami datangi sebelum mendaki ke Prau. Kala itu bulan April dan saya simpulkan bahwa bulan ini bukan saat yang paling tepat untuk mendaki. Baru tiba di tepi danau setelah tracking sekitar 20 menit, gerimis mulai turun. Kami hanya sempat sebentar menikmati keindahan telaga vulkanik yang berwarna hijau ini. Pasalnya, hujan makin deras dan kami tidak membawa payung. Saat menaiki jalan setapak, saya diberitahu bahwa tak jauh dari tempat kami ada Candi Arjuna. Saya berteriak ingin melihatnya, tapi apa daya, hujan yang deras mematahkan semangat itu. Kami berlari ke tepi jalan yang ada sedikit tempat berteduhnya. Kala itu saya hanya bergumam, semoga saya bisa datang lagi ke Dieng, khususnya ke Telaga Warna dan Candi Arjuna saat cuaca cukup bersahabat.


Tapi, besoknya saya malah menyadari. Mendaki Gunung Prau di bulan April tak selamanya tidak indah. Karena saya akhirnya bisa bertemu padang bunga daisy di puncak Gunung Prau. Tak henti-henti saya berterimakasih kepada Tuhan karena diberi dorongan untuk bisa mendaki Gunung Prau. Asli, gunung ini adalah paket lengkap yang sangat indah. Puncaknya sangat indah dengan bukit-bukit teletubies mini, belum lagi pemandangan puncak-puncak gunung di sekeliling Prau menambah lengkap kenangan di puncak saat itu.
Dari puncak Gunung Prau terlihat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Slamet, Lawu, dan Semeru. Saat itu saya bergumam, semoga saya bisa mendaki hingga ke puncak gunung-gunung yang terlihat gagah dan indah dari puncak Prau ini. Tiga akhirnya bisa saya capai di kemudian hari yakni Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Sisa lainnya Merapi, Slamet, Lawu, dan Semeru tetap ada di dalam impian saya. Semoga suatu saat nanti Tuhan beri kesempatan dan kekuatan untuk bisa mendaki sampai puncak dan kembali dengan selamat dan tanpa kurang suatu apapun, amin.

Setelah pulang dari Dieng, butuh waktu hampir sebulan agar saya benar-benar bisa move on dan tidak memposting foto-foto perjalanannya lagi di media sosial saya, hahaha (maafkan saya cukup alay). Ya mau bagaimana lagi, keindahan Dieng benar-benar tak bisa saya lupakan begitu saja. Apalagi fakta bahwa hujan mengguyur saat di Telaga Warna dan kandas bertemu Candi Arjuna membuat saya tetap berharap bisa ke sana lagi di lain waktu.

Harapan itu akhirnya terwujud, karena setahun kemudian saya kembali lagi ke Dieng. Tujuan utamanya adalah ke Sikunir. Orang menyebutnya Bukit Sikunir, namun ketinggiannya tidak begitu jauh dengan Prau. Yang membuat pendakiannya tidak seberat Prau adalah karena medannya yang tidak begitu curam, tidak banyak hutan lagi, dan memang sudah dikembangkan sebagai kawasan wisata. Jadi, aksesnya juga sudah mudah meskipun tetap harus tracking ke puncak untuk melihat matahari emas yang terkenal itu. Ya. Golden Sunrise yang setahun lalu saya dengar dari penjaga warung saat kami berteduh dari derasnya hujan kala itu. Saat mengamati warung itu, saya juga melihat sebuah kalender dengan foto Golden Sunrise Sikunir. Ya otomatis, saya yang suka penasaran ini juga ingin melihat matahari terbit yang syahdu itu.

Setelah puas menyaksikan golden sunrise di Sikunir, yang waktu itu saya tasbihkan sebagai matahari terbit terindah yang pernah saya saksikan, kami akhirnya ke Telaga Warna. Oh, Hai, Telaga Warna! Itulah yang saya gumamkan saat tiba lagi di danau vulkanik hijau ini. Kali ini cuaca lebih bersahabat, meskipun saat itu saya mendakinya di bulan Februari. Tapi, tampaknya saya beruntung karena Tuhan menyayangi saya dan memberikan cuaca yang cerah kali kedua ini. Saya akhirnya bisa mengamati Telaga Warna dengan tenang dan lebih lama kali ini. Ahh, indah dan syahdunya.


Setelah itu, kami juga sempat ke Kawah Sikidang. Kawah ini juga menarik karena dikelilingi perbukitan hijau dan pemandangan di sekitar kawahnya juga bagus. Yang justru paling saya senangi dan kenang saat ke Kawah Sikidang adalah bisa bermain dan foto bersama burung hantu (aduh, saya tidak suka dengan kata terakhirnya, jadi saya ganti dengan owl saja ya, hihihi). Owl ini sangat lucu, manis, dan mengingatkan saya dengan Hedwig-nya Harry Potter. Tentu saja, saya harus tetap berhari-hati. Untungnya, ada perawat owl yang selalu mendampingi dan memperhatikan.

Perjalanan kali kedua ke Dieng ini akhirnya ditutup dengan pertemuan dengan Candi Arjuna. Kekecewaan tahun lalu akhirnya terbayar sudah. Kawasan candi ini sangat syahdu karena berada di ketinggian dan dikelilingi kabut. Sangat indah. Meskipun beberapa titik candi sedang dalam masa perawatan saat itu, tapi saya takjub bahwa candi ini sangat terawat dan raai dikunjungi.

Berbicara tentang situs peninggalan, ada satu situs yang sangat ingin saya kunjungi di suatu hari nanti, yakni Trowulan. Kawasan ini merupakan peninggalan Majapahit, kerajaaan yang kuat pada masanya dan terkenal. Semoga bisa tercapai untuk berkunjung dan belajar sejarah ke Trowulan, amin.

Berbicara tentang harapan juga, saya masih tetap ingin kembali lagi ke Dieng. Saya ingin menyaksikan sendiri Festival Dieng dan upacara Potong Rambut Anak Gimbal dan nonton Jazz yang beberapa waktu lalu pernah dihelat di Dieng juga. Saya optimis bisa kembali lagi dan memenuhi impian saya di kemudian hari, amin.

setelah mengunjungi tempat yang ia dambakan.
Jadi, seperti yang pernah saya tulis, selalu ada kesempatan kedua untuk satu hal. Jika saat pertama gagal atau tidak berjalan sesuai harapan, jangan putus asa, jika memang sudah rejeki dan sudah jalannya, pasti ada saja jalan untuk kembali. Seperti saya dengan Dieng, Sang Negeri di Atas Awan.
Bonus foto bersama Hedwig KW Super!
