Tidak terasa sudah bulan September saja ya. Kita sudah enam bulan menjalani era pandemik. Selama enam bulan ini, saya belum pernah meninggalkan kota kediaman saya. Selain pekerjaan juga lebih mendukung semua serba remote selagi memungkinkan, saya juga memilih tidak banyak jalan-jalan dulu. Apa tidak bosan dan stres? Oh tentu saja bosan. Bayangkan orang yang biasanya selalu exploring saat akhir pekan atau libur panjang jadi hanya stay at home atau paling tidak ke supermarket, tentu jenuh. Tapi ini adalah pilihan. Sampai stres kah? Puji Tuhan, tidak stres. Mungkin karena pada dasarnya saya orang yang menyadari “segala hal ada waktunya” jadi saya selalu menjalani apapun itu dengan lebih ikhlas.
Saya menghabiskan waktu libur panjang dengan membaca, menonton, atau surfing internet. Secara nature saya adalah seorang introverted, jadi saya sangat menikmati saat-saat di rumah saja. Meskipun begitu, saya juga punya sisi yang suka mengeksplor hal-hal yang menggugah keingintahuan saya. Bisa dikatakan saya punya rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Saya ingin melihat, mendengar, dan merasakan sendiri secara langsung hal-hal yang sebelumnya hanya bisa saya baca atau tonton. Itulah salah satu yang menjadi fondasi kenapa saya sangat cinta traveling.
Salah satu hal yang biasa saya lakukan adalah melihat kembali foto-foto perjalanan dan sesekali menulis pengalaman perjalanan tersebut. Seperti ini, tepat enam bulan lalu sebelum pandemik tiba di Indonesia, saya masih sempat exploring salah satu museum kontemporer yang sudah cukup terkenal di Jakarta. Ini pertama kalinya saya datang ke museum ini.

Nama museumnya yakni Museum Macan. Sepertinya sudah tidak asing lagi ya. Saya beli tiketnya H-2 via aplikasi Tiket.com karena kebetulan ada promo juga saat itu. Waktu iyu harga tiketnya Rp100.000 per orang dewasa.

Untuk lokasi Museum Macan, kalian sangat mudah menemukannya menggunakan maps, jadi rasanya saya tidak akan menjelaskan panjang lebar ya. Saya akan bercerita tentang apa yang saya rasakan saat pertama kali main ke Museum Macan.
Saat ke sana, beruntung sekali karena bertepatan dengan exhibition Melati Suryodarmo. Kalau kalian pernah lihat video clip Tulus yang berjudul Ruang Sendiri, nah model dalam video clip itu adalah Melati Suryodarmo.

Dia adalah seorang seniman Performance Arts. Jujur, aliran seni yang dia pertunjukkan merupakan hal baru bagi saya pribadi. Mungkin banyak orang di luar sana sudah familiar dengan seni aliran ini, tapi bagi saya, ini adalah dunia yang baru.

Maka, beruntung sekali rasanya saat diperkenalkan dengan aliran ini dengan langsung menyaksikan salah satu pertunjukan yang dibawakan salah satu seniman terkenal. Saat itu, Melati tengah mempertunjukkan sebuah karya seni yang berjudul “I’m A Ghost in My Own House” yang pertama kali dia pertunjukkan tahun 2012. Karya performans ini dia bawakan dalam durasi 12 jam dan melibatkan ratusan kilogram arang. Melati menggiling arang berulang-ulang sampai tangan dan bajunya yang putih kontras menjadi sama hitam dengan arang.

Setelah melihat hasil-hasil karyanya yang lain, saya jadi tahu bahwa Melati lebih banyak melakukan pertunjukan seni di luar negeri. hasil karyanya lebih banyak menggunakan pemaknaan melalui berbagai gerakan tubuhnya, ekspresi wajahnya, pakaian, dan peralatan pendukung lainnya. Benar-benar hal baru bagi saya.

Selain pertunjukan Melati, salah satu yang berkesan bagi saya adalah instalasi Yayoi Kusama yang bernama “Infinity Mirrors Room” yang tentunya sudah sangat marak diunggah di berbagai social media oleh para traveler.

Karya seni ini berupa ruangan cermin dengan ratusan gantungan bulat berwarna-warni. Cermin di seluruh sisi ruangan ini memberikan efek optis sehigga membuat kita terasa berada di ruangan tak terbatas, sesuai namanya. Uniknya, sekali masuk ke dalam ruangan, hanya diperbolehkan maksimal dua orang dengan waktu dibatasi kurang dari 30 detik per sekali masuk. Hati-hati terhadap instalasi saat berada di dalam ya.

Sebenarnya masih banyak instalasi terkenal Yayoi Kusama, salah satunya Labu Kuning Polkadot tapi saat itu si labu kuning tidak ada di Museum Macan. Saya jadi terbersit untuk bisa melihat karya-karya Yayoi Kusama yang lainnya. Setelah baca-baca, banyak karya Yayoi yang dipamerkan di salah satu museum di Jepang. Hmmm, semoga bisa ke sana suatu saat dan melihat karya-karya kontemporernya yang lengkap.
Yayoi Kusama merupakan salah satu seniman perempuan terkenal di dunia. Apalagi karya-karyanya dinilai out of the box. Karya-karyanya merupakan salah satu bentuk terapi baginya karena ternyata dia mengidap beberapa gangguan mental sejak kecil. Hasil-hasil karya itu merupakan caranya untuk mewujudkan ekspresi dari apa yang ia alami dan rasakan saat mengalami halusinasi sebagai dampak dari gangguan mentalnya. Wah, dalam sekali bukan?

Saya adalah penggemar museum, jadi kadang saya mengunjungi museum hanya sendiri atau mengajak orang yang benar-benar senang dengan museum juga. Ini karena tidak semua orang betah atau sabar untuk berada di ruangan dengan hanya mengamati dan membaca. Jika bersama orang yang tidak kerasan berada di dalam museum seperti itu, yang ada malah kita tidak bisa menikmati hasil-hasil karya yang sedang dipajangkan. Jadi, itu juga salah satu hal penting menurut saya saat ingin mengunjungi museum.
