Sepanjang yang saya ingat, awal tahun 2000-an adalah masa-masa mulai bangkitnya gairah masyarakat untuk mulai menonton film. Saat itu, saya masih kelas 5 SD, dan untuk urusan ingat-mengingat yang sentimentil, saya adalah jagoannya (sometimes this is a kind of a curse too, hahaha, you know what i mean). Film Kuch Kuch Hota Hai adalah gara-garanya. Film asal India ini mempesona semua kalangan hingga yang di kampung sekalipun, karena saya tinggal di kampung. Tak hanya karena musik dan joged khas bollywood yang bisa menghipnotis pendengarnya untuk ikut bergoyang, ceritanya pun ‘sadis’ mengoyak emosi penonton, plus sajian lokasi-lokasinya yang membuat penonton terkesima dan penasaran, “dimana gerangan tempat indah ini?”
Setidaknya, itu jugalah yang terbersit dalam benak seorang anak kelas 5 SD saat itu. Padang bunga kuning yang cantik, lereng gunung yang sejuk, gunung-gunung yang gagah, bangunan-bangunan tua khas India yang megah membuat saya berangan-angan untuk suatu saat bisa ke sana dan melihat langsung keindahan itu. Seiring waktu, saya pun tahu bahwa India memang memiliki alam dan budaya yang sangat indah dan kaya.
Saya pun bertumbuh menjadi orang yang bisa menikmati film-film dan TV series. Thanks to My Dad, karena awal tahun 2000-an, kampung halaman kami bahkan kota yang terdekat pun belum memiliki fasilitas bioskop, maka VCD atau DVD player adalah solusi canggih kala itu. Meskipun bisa telat beberapa bulan dari euforia sejak rilisnya, bagi kami yang terpenting adalah bisa menikmati filmnya bersama keluarga.
Beruntungnya, ayah saya memiliki sahabat yang saat itu membuka usaha rental VCD dan DVD. Canggihnya, semuanya asli. Saya masih ingat, ayah sering membawa banyak film untuk diputar di rumah. Kalau tidak salah, biasanya rental-rental dulu punya aturan dalam sekali peminjaman hanya bisa meminjam maksimal 5 judul film. Tapi ayah saya bisa membawa lebih bahkan 10 judul. Katanya, “Nggak percuma kan yang punya rental sahabat sendiri”. Hahaha, baiklah. Untung bukan perusahaan ya, kalau tidak bisa-bisa dituduh nepotisme.
Toys Story 2, Balto, Sleeping Beauty, dan aneka film Disney lainnya menjadi santapan rutin saya dan saudara-saudara saat itu. Seiring bertambah usia, film-film santapan saya pun mulai berbeda genre, mulai dari Harry Potter, Matrix, X-Men, Spiderman, dan berbagai film superhero lainnya. Makin hari, saya makin gandrung menonton film. Saya mulai menemukan bahwa genre favorit saya adalah sci-fi atau science fiction, superheroes, thriller (ala detektif), dan fantasi layaknya Harry Potter dan Lord of The Rings. Saya kurang suka drama percintaan, horor, dan komedi slapstik.
Sayangnya, kebiasaan itu mulai sirna saat saya masuk sekolah asrama. Selama 3 tahun saya tak menonton film secara rutin lagi. Tapi dasar sudah gandrung, kondisi itu tak lantas memupuskan kesenangan saya terhadap film, malah saya pun mulai membeli film sendiri karena rental VCD dan DVD sudah sangat langka saat itu. Saya masih ingat, dengan uang saku, saya titip ke teman yang tinggal di Medan untuk membeli VCD asli Harry Potter and The Prisoner of Azkaban dan Harry Potter and The Goblet of Fire. VCD asli milik sendiri, yang sayangnya saat ini saya lupa dimana tersimpan, duh!

Kejeniusan J.K. Rowling menceritakan Kota London dan daerah-daerah lainnya di Inggris dalam rangkaian karya Harry Potter-nya membuat saya mulai jatuh cinta dengan negara kerajaan kuno ini. Saya pun mulai berangan-angan untuk suatu saat nanti bisa mengunjungi Inggris, khususnya Kota London. Dari penggambaran Rowling, saya bisa menyimpulkan bahwa Kota London adalah kota yang sendu, sering berkabut dan mendung, dan hanya sedikit sekali berlangit cerah sepanjang tahun.
Seiring mulai kuliah, saya mulai berkenalan dengan berbagai TV series holywood seperti Heroes dan Gossip Girl. Dua series ini membuat saya tergila-gila dengan Amerika Serikat. Bagaimana gemerlap dan majunya kota di sana seperti New York, Washington, dan kota-kota lainnya. Maka, angan-anganpun bertambah agar suatu saat nanti bisa mengunjungi New York dan kota-kota lainnya di Amerika Serikat.
Kini, daftar itu makin bertambah karena saya sedang gandrung dengan dua TV series yang sedang menyedot perhatian dunia. Stranger Things dan The Umbrella Academy adalah dua series dengan cerita dan lokasi berbeda, yang punya penggemar fanatik di dunia. Saya salah satunya, haha.

Stranger Things bercerita tentang sebuah kota kecil bernama Hawkins yang diteror berbagai peristiwa supranatural. Hawkins ini adalah sebuah kota fiktif yang terletak di Indiana, Amerika Serikat. Meskipun fiktif, tapi kehidupan tahun 83-84 yang digambarkan sangat real dalam serial ini. Cerita dimulai dengan hilangnya seorang anak laki-laki bernama Will Byers secara misterius. Hilangnya Will ini membuat gempar Kota Hawkins yang notabene merupakan kota kecil yang relatif aman sentosa. Anehnya, di saat yang berdekatan, teman-teman Will yang terdiri dari Mike, Lucas, dan Dustin menemukan seorang anak perempuan misterius bernama Eleven. Gadis kecil ini pun menyimpan banyak rahasia yang bahkan mengerikan.
Nuansa horor mulai meneror kala Will ternyata bisa berkomunikasi dengan ibunya secara supranatural. Situasi makin horor lagi saat makhluk-makhluk mengerikan mulai meneror Hawkins dan memakan korban. Film ini menggabungkan science, thriller, horor, dan drama menjadi satu series yang berhasil membuat saya menuntaskan semua episodenya secara maraton. Saya pun jatuh cinta dengan Indiana dan penasaran seperti apa kota itu.

Yang menarik dari Stranger Things tak hanya karena membuat penasaran dan menyenangkan, tapi pengemasan series ini begitu sempurna. Lagu-lagu yang mengiringi, pernak-pernik, dan fashion yang dipilih benar-benar membuat saya memahami bagaimana trend tahun 80-an yang mana saya justru belum lahir saat itu. Season demi season, Duffer Brothers berhasil mengembangkan cerita dan karakter setiap tokohnya menjadi lebih kuat. Bagaimana saya yang awalnya sangat membenci Steve Harrington malah jatuh cinta di season 2 karena ternyata karakternya dikembangkan lebih baik dan justru mengambil banyak peran penting. Belum lagi, semua tokohnya memiliki kekuatan karakter yang memiliki porsi yang pas sehingga membuat saya menyukai semua tokohnya. Well, bukan Mindflyer tentunya, hahaha.

Selesai dengan Stranger Things, saya butuh asupan series lainnya. Minimal yang selevel, tidak bermaksud sombong, karena jika sudah menonton Stranger Things, rasanya saya bisa memahami cerita film dan series sejenis dan bahkan bisa membaca jalan ceritanya sejak awal. Maka, saya pun mulai berburu series baru dan akhirnya jatuh cinta dengan The Umbrella Academy. Berawal karena saya sangat menyukai film/series sci-fi dan superhero, dan saat membaca sinopsis The Umbrella Academy yang menceritakan sekelompok anak yang memiliki superpower dengan latar belakang yang sangat misterius, maka saya pun mulai menonton episode pertamanya.

Satu pemikat The Umbrella Academy bagi saya pribadi adalah keterlibatan Ellen Page sebagai salah satu pemainnya. Saya sudah menyukai Ellen Page sejak dia berperan sebagai Kitty alias Shadowcat di beberapa film X-Men. Saya adalah penggemar berat Kitty, dan Ellen Page berhasil menghidupkan karakter Kitty sesuai ekspektasi saya. Saya juga menyukai Ellen Page di Inception, salah satu film yang menurut saya sangat jenius.
Awalnya, saya sempat menilai The Umbrella Academy ini sangat absurd. Ceritanya berawal dari sebuah peristiwa aneh, 43 perempuan muda di berbagai belahan dunia yang sama sekali tidak terindikasi hamil secara tiba-tiba dalam waktu kurang dari satu jam melahirkan anak. Maka, ada 43 anak yang terlahir bersamaan secara misterius. Tak lama, muncul lah seorang milyuner eksentrik bernama Reginald Hargreeves mulai mengumpulkan anak-anak misterius ini. Dari 43 anak, dia berhasil mengumpulkan 7 orang. Dia pun menamakan anak-anak itu dengan sebutan angka yakni Number One hingga Number Seven.
Tapi, episode demi episode, saya mulai mengerti dan malah jatuh cinta dengan series ini. Tokoh favorit saya adalah Number Five karena saya menemukan beberapa kesamaan dengannya. Kami sama-sama introvert, serius, tidak suka basa-basi, hanya menyukai hal tertentu yang hanya kami yang mengetahuinya, dan jika sudah menetapkan satu tujuan maka kami harus mencapainya. Pemeran Number Five ini bernama Aidan Galagher yang menurut saya sangat unik. Sekilas perawakannya seperti campuran India atau Timur Tengah, tapi kulitnya putih dan matanya berwana abu-abu kehijauan.
Salah satu ciri kalau saya sudah jatuh cinta adalah seperti biasa, saya akan selesaikan episode awal hingga akhirnya secara maraton. Menariknya, film ini berlokasi di Toronto, Kanada dan membuat saya jatuh cinta juga dengan Kota Toronto, Kanada. Sebelumnya, Kanada belum pernah masuk dalam list impian saya. Tapi berkat TUA (kok singkatannya rada gimana gitu ya,hahaha) saya pun ingin sekali suatu saat nanti bisa ke Toronto, Kanada.

Maka here they are: India, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada adalah racun cinta yang berhasil menggerogoti angan-angan saya berkat film dan TV series. Sejauh memberikan efek yang positif maka saya akan terus bermimpi dan berusaha hingga suatu saat nanti impian ini bisa menjadi nyata. Amin.
Karena saya sudah menyelesaikan The Umbrella Academy, kira-kira series apa lagi yang seru dan mungkin bisa membuat saya jatuh cinta dan pingin jalan-jalan dengan lokasinya? Please, feel free to share it!