Moment of Truth: Berdiri di Tower Impian Setelah 10 Tahun

Kalau ada yang bertanya kepada saya, “Negara mana yang menjadi impianmu sejak kecil?” Maka saya akan menjawabnya dengan, “Jepang”. Ini karena berbagai hal tentang negara ini yang pertama kali menerpa saya. Anime dan manga yang berhasil membuat saya tergila-gila dengan negara Jepang. Saya bahkan bisa mengatakan kalau saya punya obsesi tersendiri terhadap negara ini (akan saya ulas di tulisan berbeda nantinya). Tapi, beranjak dewasa, ada negara lain yang menjadi salah satu impian saya, Korea Selatan.

Here i am, at Seoul City, Korea.

Girls Generation-lah yang cari gara-gara sehingga membuat saya mulai terobsesi dengan Halyu Wave. Tapi Janggeum dan Princess Hour adalah “kontak pertama” saya dengan budaya pop Negeri Ginseng ini. Oh tentu, saat pertama kali terpapar hal-hal terkait Korea Selatan sekitar tahun 2005/2006 itu, saya belum tahu istilah itu.

Saya pun mulai paham istilah ini setelah makin terobsesi dengan berbagai variety show dan musik K-Pop yang menjadi salah satu senjata andalan Korea Selatan dalam mempromosikan negaranya. Halyu Wave atau Gelombang Korea adalah fenomena yang membuat segala hal yang berbau Korea menjadi mendunia dan orang-orang menjadi gandrung bahkan mulai mengikutinya. Drama Korea dan musik K-Pop dipercaya mengambil andil yang paling besar dalam menyebarkan Halyu Wave ke seluruh dunia. Disusul dengan makin maraknya variety show Korea yang ternyata memikat hati penonton dari seluruh dunia. Selanjutnya makanan, fashion, bahkan perawatan kecantikan memperkuat gelombang Halyu sampai dikenal istilah Korean Beauty. Akibatnya, rasa ingin tahu masyarakat dunia akan negara Korea semakin tinggi.

Tak terkecuali saya. Saya makin gandrung nonton bahkan download video girlband dan boyband favorit saya. Saya juga mulai mengikuti fashion bahkan gaya make up gadis-gadis Korea. Namun, hingga akhir 2011, saya belum bisa mengikuti terlalu jauh karena belum punya penghasilan sendiri. Tak etis rasanya memakai uang saku dari orang tua untuk hal-hal yang bukan kebutuhan penting. Meskipun cukup sering kecolongan dengan beli baju dengan style Korea juga (Bapak dan Mama, maafkeun daku). Untuk hal ini perlu menyalahkan sahabat saya sesama pencinta Korea, yakni Imelda Maurike Siahaan. Dialah partner in crime saya dan yang paling nyambung tentang segala hal, khususnya per-Korea-an ini.

Punya penghasilan sendiri, saya pun mulai berani bermimpi agar suatu saat nanti bisa mengunjungi Korea Selatan. Saya bisa saja berangkat di beberapa kesempatan, tapi berbagai kondisi menghambat sehingga akhirnya impian itu baru bisa tercapai setelah sepuluh tahun sejak saya benar-benar jadi pencinta Korea pada tahun 2009. Yang paling ikonik bagi saya tak lain adalah Namsan Seoul Tower atau N Seoul Tower. Menara ini sering ditampilkan dalam berbagai drama dan variety show, apalagi tentang gembok-gembok cinta yang jumlahnya tak terhitung di N Seoul Tower ini. Bahkan, badan wisata milik pemerintah Korea dengan gerakan I Seoul You menjadikan menara ini sebagai salah satu ikon dari Kota Seoul, Korea.

Namsan Seoul Tower

Maka, setelah awal Mei 2019 kemarin, saya akhirnya mewujudkan impian saya untuk menjejakkan kaki di negerinya Yoona dkk ini. Plus fakta bahwa seluruh perjalanan ini gratis dan saya hanya memikirkan uang jajan pribadi membuat perjalanan ini menjadi perjalanan luar negeri terbaik yang pernah saya alami. Hahaha, ya saya baru pernah ke Jepang dan Thailand saja sebelumnya, jadi belum banyak pengalaman juga sebenarnya.

Iya, saya beruntung dan saya tak henti mengucapkan syukur kepada Tuhan atas berkatnya ini. Saya berhasil menjadi salah satu pemenang lomba menulis tentang traveling di salah satu platform berita online terbesar di Indonesia yakni Detik.com lewat kanal wisatanya DetikTravel, dengan sponsornya yakni perusahaan e-commerce raksasa Indonesia, Tiket.com. Big thanks, thank you so much, gomawo yo!

Sebenarnya saya ragu untuk menuliskan perjalanan ke Korea Selatan karena pasti sudah banyak review dari blogger-blogger lain di internet. Apalagi, wisata ke Korea sudah digemari sejak tahun 2012 saat makin banyak musisi K-Pop yang bermunculan dan variety show seperti Running Man yang memperkenalkan banyak tempat-tempat menarik di seluruh Korea Selatan. Tapi, saya kemudian memutuskan untuk tetap menuliskannya berdasarkan cerita pribadi sebagai seorang K-Poper yang akhirnya berhasil mewujudkan impiannya, bahkan secara gratis pula!

Karena perjalanan ini sudah di-arrange oleh tim penyelenggara, jadi saya tinggal mengikuti trip yang sudah ditentukan, termasuk tempat-tempat wisatanya. Tapi, saat pertama kali tahu bahwa N Seoul Tower menjadi salah satu destinasinya, maka saya sudah sangat bahagia. Sebenarnya tower ini menjadi semacam destinasi wajib bagi hampir seluruh agen travel yang membuka perjalanan ke Korea Selatan. Ya, ibaratnya kalau turis asing pertama kalinya ke Jakarta pasti direkomendasi ke Monas dulu sebagai ikonnya Jakarta. Begitulah kira-kira.

Yang membuat saya semangat ke N Seoul Tower bukan gembok-gembok cinta karena jujur saya tidak memasangnya sekali (ahh, bilang aja karena Kakak jomblo, ya kan?). Jadi, selain karena ini memang ikon Kota Seoul, yang membuat saya semangat ke N Seoul Tower ini adalah karena kami akan diberikan keleluasaan hampir sekitar 1 jam meng-explore sendiri tower ini. Karena trip-nya sudah diatur, jadi jadwal cukup ketat dan kami jarang punya waktu personal untuk menjelajahi tempat wisatanya, sepanjang hari selalu serombongan. Sangat menyenangkan bisa segrup dengan orang-orang hebat dan menyenangkan, tapi entah kenapa ada momen saat saya ingin menikmati sejenak saja detik-detik berada di Korea Selatan tanpa hectic harus foto di sana-sini. Saya ingin benar-benar hanya diam, memandangi apa yang ada di depan saya, meresapi tiap suasana, mendengar bahasa-bahasa, dan menghargai setiap detiknya sebagai suatu pengalaman yang berharga.

Namsan Tower dengan latar matahari senja.
Jalan yang sedikit mendaki ke Namsan Tower.

Jadi, setelah sampai di parkir, Namsan Tower sudah menyambut dengan berdiri gagah menjulang. Ternyata kami harus berjalan menuju bangunan Namsan Tower. Tak jauh dan justru sangat menyenangkan karena bisa melihat berbagai bunga cantik yang ditanam dan sangat terawat di sepanjang jalan. Ada bunga tulip juga. Ini kali kedua bagi saya melihat bunga tulip secara langsung, setelah pertama kali di Jepang.

Ini bukan bunga sakura, tapi sangat cantik untuk mengobati rasa kangen.
Si cantik bunga tulip yang tumbuh di sepanjang jalan menuju Namsan Tower.

Namsan Tower ini merupakan menara pemancar yang masih aktif hingga saat ini. Saat pertama sampai di halaman depannya, kita akan melihat patung-patung panda dan babi di halamannya. Ini cukup menarik, khususnya bagi anak-anak. Setelah melewati pintu masuk, akan tercium wangi khas kopi karena ada Starbucks di dekat pintu masuknya. Untuk masuk ke Namsan Tower, pengunjung harus membeli karcis sebsar 10.000 Won atau sekitar 120.000 rupiah.

Tampak depan pintu masuk plaza sebelum naik ke menaranya.
Anak-anak pasti betah main di sini.

Uniknya, ada lorong-lorong LED yang menyala indah saat akan menaiki lift menuju menara pandang Namsan Tower. Saat berada dalam lift pun akan diputar video interaktif yang membuat pengunjung yang naik lift seolah-olah sedang terbang menuju luar angkasa.

Seolah-olah kita berada dalam warp lompatan antar galaksi seperti di film Star Trek.

Sesampainya di menara pandang, saya cukup kaget. Tempat ini sangat ramai dengan turis dari berbagai belahan dunia. Bisa dibilang, berbagai orang dari seluruh dunia berkumpul di sini. Di menara pandang ini, seluruh dindingnya merupakan kaca sehingga pengunjung disuguhkan 360◦ pemandangan Kota Seoul. Di setiap kaca pun ditempeli stiker berupa bendera dan nama ibukota negara serta jarak tempuhnya dari Kota Seoul. Saat ini kami semua berpencar untuk menikmati Namsan Tower. Saya pun langsung menikmati senja itu dengan berkeliling pelan-pelan.

Menikmati senja dengan memandang horison.
Pemandangan Kota Seoul dari menara pandang. Indah: modern tapi asri.

Perlahan, saya membaca hampir setiap dinding. Saya jadi tahu jarak Kota London dengan Seoul sejauh 8.954 km. Kenapa London? Karena ini merupakan salah satu kota impian yang ingin saya kunjungi juga suatu saat nanti, amin.

Saya pun berjalan perlahan, membaca setiap stiker. Saya mulai mencari-cari, satu tulisan dan bendera yang sepertinya mulai saya rindukan. Setelah berjalan, akhirnya saya menemukannya. Stiker merah-putih dengan tulisan “Jakarta” di sampingnya, lengkap dengan jaraknya 5.128,98 km. Sejauh itulah saya dengan ibukota negeri tercinta. Saya memutuskan hanya berdiri dan memandang jauh menikmati suasana tenang di tengah keramaian Namsan Tower, merasakan hangat senja sore. Saya bersyukur, saya sudah sejauh ini mencapai salah satu impian saya.

Biarpun saya pergi jauh, tidak ‘kan hilang dari kalbu, tanahku yang kucintai. Indonesia.

Tiba-tiba, saya teringat impian lainnya, saya pun mencari dan menemukannya. Auckland, kota lainnya yang semoga akan saya kunjungi suatu saat nanti. Saya berdiri menghadap ke arah Auckland, melihat hingga ke horison. Membayangkan seperti apa Auckland itu. Di antara pemanangan gedung-gedung pencakar langit Seoul itu, mata saya tertuju pada titik horison dimana Auckland ada di sana sejauh 9.494,83 km dari Seoul. Saya pun meresapi setiap momen itu, menikmati tiap pandangan dan “moment of truth” antara saya, bumi, dan impian-impian saya. Jarak secara fisik memang sangat jauh, tapi jarak saya dengan impian itu hanya sejauh doa dan kerja keras. Saya hanya harus lebih giat berdoa dan berusaha.

Living my dream. Amen.

Wangi kopi menusuk hidung dan membuyarkan lamunan senja itu. Ya, ternyata saya baru menyadari ada cafe di lantai yang sama, bahkan saya baru melihat di sekeliling banyak yang menikmati pemanadangan indah ini sambil menyeruput kopi dan duduk santai. Tapi, meja-meja yang disediakan sudah dipenuhi pengunjung saking ramainya. Lagi pula, saya juga harus bergegas karena masih ingin menikmati sisi lainnya. Salah satunya, teras yang berisi penuh gembok-gembok cinta itu.

Sebanyak itu, bahkan yang bertahun-tahun tergantung hingga berkarat pun ada.
Ada nama yang familiar?

Sisa perjalanan di Namsan Tower saya habiskan dengan meng-explore sudut teras dan halamannya. Ternyata ada beberapa titik yang dipenuhi gembok yang digantung pengunjung dari berbagai negara di dunia ini. Tak terkecuali Indonesia, karena banyak sekali gembok bertuliskan nama khas Indonesia di sana.

Di Namsan Tower tanpa menggantung gembok ternyata tidak apa-apa. Hahaha
Percayalah, kursi ini merosot bukan karena bobot saya sejak makan banyak di Korea.

Setelah itu, saya berkumpul bersama teman trip dan kami memutuskan untuk membeli churos. Hanya tersisa original karena yang rasa cokelat sudah sold out. Dan rasa churosnya cukup berbeda dengan yang biasa ada di Indonesia. Ya, masyarakat Korea tidak terlalu terbiasa dengan makanan serba manis dan penambah rasa lainnya. Mereka sangat memperhatikan aspek kesehatan, terutama dalam makanan.

Menikmati sisa senja di teras Namsan Tower.
Everywhere in here is about love. Ehem.
Gerai-gerai street food dan cinderamata.

Setelah sunset, kami beranjak meninggalkan Namsan Tower. Meskipun aktivitas ini sangat mainstream bagi turis yang datang ke Korea, tapi saat-saat di menara pandang Namsan Tower ini adalah salah satu momen terbaik yang bisa saya kenang saat trip Korea ini. Moment of truth, saat saya kembali disapa dengan manis impian dan kenyataan betapa indah dan luasnya bumi ini. Ada impian yang sepadan di sana. Ada impian yang harus terus diperjuangkan. Dan menara pandang ini kembali memelukku dengan momen itu.

Published by Feni Saragih

Everywhere is my study field, everywhere is worth to walk.

Leave a comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: